Mohon tunggu...
Yustisia Rahman
Yustisia Rahman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

prokrastinator tingkat ahli | https://pandaiapi.wordpress.com/uluksalam/ | @tyan_yr

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Secuil Surga di Campbelltown: The Basin/Keith Longhurst Reserve

17 November 2016   08:56 Diperbarui: 17 November 2016   19:13 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semester lalu, Prof. Ed Couzen, dosen saya di mata kuliah International Wildlife Law berujar kalau Australia adalah satu dari megabiodiversity countries di dunia. Sebagai seorang Indonesia, yang sejak SD dicekoki tentang kekayaan alam nusantara dan hutan-hutan tropisnya yang (pernah) lebat yang menjadi rumah bagi jutaan species flora dan fauna, saya agak tergeltik juga mendengar itu. Rasa-rasanya gak ada yang bisa ngalahin soal kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia deh. Mungkin ini cuma sentimen kebangsaan yang tidak pada tempatnya sih.

Australia memang adalah sebuah negara kontinen yang memiliki kekayaan dan ekosistem yang luar biasa. Dan tidak seperti Indonesia yang (cuma) negara berkembang, Australia adalah negara maju dengan populasi yang bisa dibilang sedikit untuk negara yang mengokupasi seluruh benua selatan ini (data tahun 2013, populasi manusia di benua ini cuma 23,13 juta jiwa). Ini jelas menjadi keuntungan tersendiri untuk upaya konservasi ekosistem Australia yang khas dan unik ini.

Masalah pendanaan konservasi tidak akan menjadi masalah dan tekanan kepada lingkungan tentu tidak akan sebesar negara dengan populasi sebesar Indonesia. Dan lagi, Australia yang oleh pelaut-pelaut dan petualang Eropa dikenal dengan Terra Australias Incognitos alias The Unknown Land of The South bisa dibilang nyaris terselamatkan dari keserakahan manusia yang mengeruk alam sebagai harga untuk keberlangsungan peradaban mereka.

Australia baru "ditemukan" tahun 1770 dan jauh sebelum orang-orang Eropa mengokupasi tanah ini, sebuah peradaban luhur yang menjaga keharmonisan alam dengan manusia telah dikembangkan oleh The First Australian, pemilik sah benua ini, mereka yang oleh bangsa pendatang kemudian disebut Aborigin. Bisa dibilang ketika nyaris setengah bagian dunia memasuki era Revolusi Industri, masa dimana cerobong-cerobong asap pabrik dengan pongah mengotori langit dan menimbun emisi karbon dalam jumlah raksasa di angkasa -yang celakanya dampaknya terus kita rasakan sampai sekarang berupa perubahan iklim, peradaban bangsa Aborigin yang nir-kerakusan menjaga kelestarian benua Australia yang indah ini. Dan agaknya hal ini turut mempengaruhi paradigma dan pendekatan bangsa pendatang dalam mengolah alam Australia sejak abad ke 18 hingga sekarang. 

Buat saya, kemewahan terbesar bisa tinggal di negeri ini bukanlah fasilitas-fasilitas publiknya yang luar biasa nyaman tapi kesempatan untuk menikmati alam yang tetap terjaga sedemikian rupa. Masalah-masalah lingkungan bukannya tidak pernah ada di negeri ini, tapi dari sedikit pengetahuan yang saya dapat dari guru-guru di kampus, kemampuan negeri ini memitigasi kerusakan lingkungan dan mencegah kerusakan berlanjut memang luar biasa. 

Yak cukup bahas hal-hal yang agak berat hehe. Tulisan ini sebetulnya gak bermaksud bahas hal-hal serius. Saya cuma mau membagikan pengalaman saya kemarin melakukan trip singkat ke sebuah tempat yang luar biasa indah di Campbelltown, sebuah kota suburban 50 km di selatan Sydney, Australia. Kawasan ini memang dikenal sebagai surganya pencinta hiking, telusur sungai dan hutan khas Australia atau populer disebut bushwalking. 

Rimbun pepohonan menuju The Basin | Dokumentasi Pribadi
Rimbun pepohonan menuju The Basin | Dokumentasi Pribadi

Tempat yang saya kunjungi ini adalah sebuah lembah di salah satu bagian The Georges River atau Tucoerah sebagaimana bangsa Aborigin meneybeutnya. Tempat ini sangat populer di kalangan bushwalkers karena menyuguhkan panorama yang aduhai indahnya. Seperti namanya, The Basin adalah bagian dari sistem sungai The Georges River yang membentuk semacam danau atau kolam yang sangat indah. Anda juga akan menemukan air terjun kecil yang bunyi gemericik airnya menghadirkan ketenangan yang luar biasa.

Rimbun pepohonan dan ngarai-ngarai tinggi yang mengelilingi The Basin menambah suasana syahdu dan mistis kawasan ini. Siang itu saya benar-benar cuma sendiri di situ. Perasaan was-was berada di tengah hutan yang sepi seketika hilang setelah gemericik sungai terdengar di The Basin. Rasa lelah menuruni lereng menuju kawasan ini dijamin akan hilang setelah bunyi gemericik air masuk menembus telinga.

Yang menarik dari kawasan ini adalah sisi di seberang The Georges River (sisi berlawanan dari arah saya datang) adalah kawasan militer terlarang. Kawasan ini kerap dijadikan areal latihan militer dan pengujian bom, aktivitas yang dikiritik pegiat lingkungan karena diduga mencemari The Georges River.  

Lubang di tengah sungai, The Georges River | Dokumentasi Pribadi
Lubang di tengah sungai, The Georges River | Dokumentasi Pribadi
Tidak sulit untuk mencapai kawasan ini. Dari pusat kota Sydney anda bisa naik kereta dari Central Station menuju Cambelltown Station dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam perjalanan. Dari Campbelltown station anda bisa naik bus sampai ke ujung jalan Georges River untuk melanjutkan  perjalan menembus semak dan hutan khas Australia selama kurang lebih 1 jam. Sayangnya kawasan ini bisa dibilang benar-benar sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun