Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Merasakan dan Semakin Menjadi Indonesia

13 Mei 2013   09:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:39 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai dengan bangku SMA, hidup saya hanya berputar-putar di tempat kelahiran. Bepergian paling jauh hanyalah sampai Jakarta. Itupun hanya sekali saat kelas 1 SMP untuk mengikuti Dharma Wisata Pramuka. Dharma Wisata lainnya paling hanya sampai Tawangmangu, Wonogiri, Kebumen, Purwokerto, Magelang, Semarang dan tentu yang paling sering adalah Yogyakarta.

Pengetahuan tentang kota dan pulau lain hanya saya dapat dari bacaan di buku pelajaran atau majalah dan lihat di televisi. Sesekali ada tetamu dan saudara yang datang dari luar pulau, paling sering dari Sumatera. Sumatera terutama Jambi bukan hal asing di telinga karena tak jauh dari tempat saya tinggal ada agen bus yang melayani jalur Purworejo – Jambi.

Suatu ketika ada tetangga yang pulang dari Manado, Sulawesi. Saya main ke rumahnya dan kemudian disuguhkan segelas kecil minuman. Saya teguk minuman itu segera, tenggorokan rasanya terbakar. Kemudian saya tahu kalau itu adalah cap tikus, whiski tradisional yang diolah dari penyulingan air nira. Cap tikus kalau dibakar ternyata menyala biru mirip spiritus.

Tetangga saya itu kemudian menceritakan banyak hal tentang Manado, tentang gadisnya yang putih-putih dan ramah. Tentang bubur Manado, makanan yang awalnya membuatnya jijik sewaktu melihat karena ingat muntahan bayi. Tapi setelah dimakan ternyata enak dan menyehatkan. Juga makanan-makanan lain seperti pangi yang awalnya dia kira tembakau. Satu hal yang membekas dalam benak saya adalah orang-orang Manado itu bersahabat, ramah dalam menerima atau memperlakukan tamu dan senang mengangkat orang lain menjadi saudara.

Cerita-cerita itu membuat saya ingin melanglang buana, meninggalkan kampung halaman untuk melangkahkan kaki mengenal kehidupan di seberang lautan. Bukan sekali itu saja saya ingin pergi melihat kehidupan di pulau lain, saya ingat sewaktu masih SD, ada teman bapak yang pulang dari Papua dan kemudian mampir ke rumah. Teman bapak itu memberikan oleh-oleh sebuah kapak batu dan noken (tas dari tali kulit kayu). Pemberian teman bapak itu amat menarik hati saya, saya senang bermain dengan kapak kayu yang tak tajam dan memakai noken untuk dipakai sebagai tas sekolah. Saya juga suka membaca berulang-ulang cerita tentang lembah Baliem dan Suku Asmat laporan dari majalah wanita yang menjadi langganan ibu.

Setamat SMA dengan menumpang KMP Umsini, saya meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok, singgah di Tanjung Perak dan kemudian menyeberang ke Ujung Pandang, berhenti agak jauh dari pelabuhan Pantoloan dan kemudian Kwangdang hingga berakhir di pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Dan di Bitung itulah untuk pertama kalinya kaki saya menapak di tanah seberang. Tanah yang sebelum saya kenal lewat buku pelajaran sebagai daerah penghasil ikan, kopra, cengkeh dan pala.

Dari Bitung saya menuju Pineleng menumpang kendaraan Datsun Station yang dikemudikan oleh Bruder dari Belanda. Pineleng terletak sedikit diluar Kota Manado, di jalan menuju Kota Tomohon. Saya tinggal di sekolah berasrama yang penghuninya kebanyakan berasal dari bagian timur Indonesia. Inilah kali pertama saya tinggal dan bergaul dengan teman-teman yang berasal dari berbagai suku di wilayah timur Indonesia. Dari perjumpaan itu saya tahu bahwa Maluku bukan hanya di huni oleh orang Ambon saja, melainkan juga orang Key, Tanimbar, Banda, Masohi dan lain sebagainya. Pun begitu pula dengan Nusa Tenggara Timur yang terdiri dari bermacam-macam suku.

Ketika meninggalkan pulau Jawa, saat pamit dengan teman-teman dan juga saudara, saya mengatakan akan pergi ke Manado, namun ternyata saya tinggal di Minahasa yang ternyata mempunyai beberapa sub etnis dengan bahasa yang berbeda-beda. Di Pineleng kebanyakan penduduknya adalah orang Minahasa yang berbahasa Tombulu, sementara di desa tetangga kebanyakan berbahasa Totemboan. Bahasa Totemboan kebanyakan dipakai oleh orang gunung, orang dari datarandi Minahasa seperti Langowan, Kawangkoan, Modoinding, Motoling dan sebagainya.

Bahasa lain adalah bahasa Tondano yang dipakai oleh orang-orang di sekitar danau Tondano. Kemudian ada juga bahasa Tonsea yang dipakai oleh orang-orang di daerah antara Manado dan Bitung yang meliputi Air Madidi, Kauditan, Maumbi, Likupang dan Klabat. Masih ada juga bahasa Tonsawang yang dipakai oleh orang Minahasa di bagian tengah, di daerah sekitar Tombatu.

Andai saja saya tak memberanikan diri untuk menyeberang ke pulau lain tentu saya tak akan punya pengalaman dan pemahaman seperti di atas. Pasti juga saya tak akan mengenal dan merasakan sagu lempeng dari Ambon dan embal (sejenis sagu tapi terbuat dari ubi parut dipress) dari pulau Key. Saya juga tak akan merasakan sagu bakar dari Sanger yang nikmat disantap dengan ikan bakar. Dan satu hal yang istimewa, sarapan dengan pisang rebus, pisang goroho yang khas Sulawesi Utara. Pisang goroho adalah pisang yang hanya direbus atau digoreng sebelum masak dan memang pisang ini tak akan dibiarkan tergantung dipohon sampai masak. Pagi-pagi menikmati pisang goroho rebus ‘colo-colo’di dabu-dabu roa, membuat pagi terasa indah.

Perjalanan saya ke pulau Selebes menjadi sebuah jalan untuk merasakan Indonesia, negeri dengan segala macam keragaman. Keragaman yang saya tahu sejak mendapat pelajaran mulai dari sekolah dasar. Namun hanya dengan membaca atau melihat keragamaan itu di siaran televisi tentu saja tak akan menumbuhkan rasa, sensasi, kesenangan dan kebanggaan yang dalam. Maka buat yang masih punya kesempatan dan waktu, niatkan dalam hati untuk mulai melakukan perjalanan, mengunjungi berbagai tempat yang terletak di seberang pulau. Atas dasar apa yang saya alami, saya pastikan bahwa bakal banyak pengetahuan dan pengalaman baru yang akan semakin memperdalam pemahaman kita tentang merasakan Indonesia. Menjadi semakin Indonesia.

Pondok Wiraguna, 13Mei 2013

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun