Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

#Hardiknas : Belajar dari Sedulur Sikep

2 Mei 2015   12:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Seorang anak tanpa pendidikan ibarat burung tanpa sayap”
Pepatah Tibet

Seorang kawan menuliskan di status facebooknya tentang pengalaman menjadi buruh di sebuah pabrik mainan dan makanan anak-anak. Situasi kerjanya monoton dengan jam istirahat yang kurang. Menurutnya pengalaman kerja itu menjadi bahan pembelajaran bagi dirinya ketika kemudian dia menjadi seorang ekonom.

Status facebook kawan itu menjadi bahan renungan saya menjelang siang, ketika anak saya pulang cepat dari sekolah karena hari ini kegiatan belajar di sekolah hanyalah upacara untuk memperingati hari pendidikan nasional.  Dan ketika saya tanya apa yang disampaikan kepala sekolah dalam upacara, dia tak menjawab apa-apa. Nampaknya tak ada yang membekas dalam benaknya perihal peringatan atas jasa-jasa Ki Hajar Dewantara hari ini.

Semalam saya bersama beberapa kawan memutar video dokumenter Samin vs Semen yang mengisahkan perjuangan Sedulur Sikep dalam melawan upaya penambangan karst di Kabupaten Pati. Dalam video dokumenter itu seorang ibu dengan sangat gamblang menceritakan perihal pendidikan. Sedulur Sikep memandang pendidikan penting tetapi menolak untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolahan formal.

Menurut Sedulur Sikep sekolah formal hanya akan membuat orang berlomba-lomba untuk menjadi pintar hingga kemudian membuat peserta didik bercita-cita menjadi orang yang berpangkat dan punya jabatan.  Hasilnya pendidikan berarti mencabut anak-anak dari tanah tumpah darahnya. Anak-anak akan keluar dari desa atau kampungnya untuk mengejar cita-cita, mewujudkan hidupnya sebagai orang terdidik.  Tak ada anak-anak yang merasa pintar itu untuk mau tetap tinggal di kampung, mencangkul di sawah atau ladang, mencari rumput untuk sapi, kerbau atau kambing mereka.

Cita-cita pendidikan yang diungkapkan oleh sang ibu itu sedehana saja. Dengan telaten ibu itu mengajari anaknya baca tulis di rumah agar mengerti. Mengerti bahwa hidup itu harus dipenuhi oleh dirinya sendiri dengan menjaga dan memanfaatkan alam secara lestari. Caranya adalah dengan bertani.

Sedulur Sikep mengunci jalan hidup lewat jalan pertanian. Maka lahan, air dan gunung sebagai tempat menyimpan air adalah harga mati yang tak mungkin dipertukarkan dengan apa saja. Orang hidup itu butuh pangan bukan semen begitu kata mereka. Semen itu kebutuhan orang kaya, yang perlu rumah gedong sementara untuk mereka tak ada semenpun rumah tetap akan jadi karena dinding bisa dibuat dari anyaman bambu.

Dengan bertani mereka akan mandiri. Energi misalnya dibuat dengan mengolah kotoran sapi peliharaan sehingga menghasilkan biogas untuk kebutuhan memasak. Kotoran sapi juga diolah menjadi pupuk cair dan padat untuk menyuburkan tanah-tanah mereka. Dengan demikian mereka tak tergantung kepada pupuk kimiawi buatan pabrik yang hanya memberi kesuburan sesaat tapi akan membuat tanah menjadi merana di kemudian hari.

Hidup sederhana dan mandiri lewat cara yang ditularkan secara turun menurun begitu lekat di benak dan diri mereka. Sikap, tindak, perilaku dan pengetahuan yang selaras itulah yang membuat mereka kemudian begitu getol melawan koorporasi yang hendak menambang wilayah hidup mereka. Kehilangan gunung kapur tempat penyimpan air dan lahan pertanian berarti hilangnya penghidupan mereka. Pabrik semen bukanlah investasi melainkan mesin pembunuh kehidupan mereka.

Buat saya menjadi sederhana dan mandiri adalah sesuatu yang hilang dari dunia pendidikan formal di masa kini. Anak-anak didik didorong untuk menjadi yang serba nomor satu, serba tahu ini dan itu dan bersaing untuk menjadi yang terhebat. Iklim persaingan dan kompetisi membuat bukan hanya anak-anak melainkan juga orang tua bergerak dengan berbagai macam cara untuk memenangkan pertandingan. Dan kemudian orang tua lupa mendidik anaknya sendiri, menanamkan ajaran-ajaran baik.

Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madya Mangun Karso Tut Wuri Handayani, begitu ajaran  Ki Hajar Dewantara yang pada hari ini (2 Mei) gambarnya dipakai menjadi salah satu huruf O dari mesin pencari GOOGLE.  Ajaran itu menyiratkan bahwa seseorang yang baik adalah bisa mampu menjadi suri tauladan atau panutan yang menggugah semangat membangkitkan karsa dan inovasi untuk memberdayakan orang-orang disekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun