Mohon tunggu...
Yusticia Arif
Yusticia Arif Mohon Tunggu... Administrasi - Lembaga Ombudsman DIY

I Q R O '

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Sejatine Urip Kuwi Gawe Urup"

20 September 2012   04:47 Diperbarui: 4 April 2017   16:32 23391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Terjemahan bebasnya, menurut versi saya, adalah sesungguhnya hidup itu adalah untuk memaknai kehidupan itu sendiri. Ada juga ungkapan lain yang sangat dalam maknanya, sejatine urip kuwi gampang, nanging urip sing sejati iku ora gampang. Sesungguhnya hidup itu mudah, namun hidup yang sesungguhnya tidaklah mudah, kira-kira demikian artinya.

Sudahkah kita memaknai kehidupan yang kita jalani saat ini? Apa sih tujuan hidup kita? Mengapa kita hidup? Sampai kapan kita hidup? Sudahkah kita bersyukur, bahwa sampai hari ini kita masih memiliki kehidupan itu? Tiba-tiba saja pertanyaan itu berkelindan di benak saya. Selama ini saya merasa, bahwa hidup saya sekedar menjalani, sak derma nglakoni, kadang memang terasa kosong, karena yang kita lakukan sekedar rutinitas, sedemikian rupa sehingga kita terjebak didalamnya.

Lalu saya teringat pada sebuah hadits, Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni. Dishahihkan Al Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah). Inilah jawaban atas tujuan hidup itu! Seseorang mestinya memiliki keterpanggilan untuk saling menolong saudaranya, memiliki jiwa dan semangat memberi manfaat kepada sesama. Kebaikan seseorang, salah satu indikatornya adalah kemanfaatannya bagi orang lain. Keterpanggilan nuraninya untuk berkontribusi menyelesaikan problem orang lain. Jadi, manusia terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain, seperti yang diungkapkan kutipan hadits di atas.

Mestinya, hidup, kita relevansikan dengan tujuan penciptaan Tuhan atas manusia, menjadi rahmatan lil 'alamin, menjadi rahmat bagi semesta alam. Mestinya, manusia membingkai kehidupannya dengan misi pengabdian kepada Tuhannya dengan beroriantasi manjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama, apapun profesinya. Menjadi guru, misalnya tidak sekedar mengajar dan kemudian mendapat, gaji, tetapi lebih menghayati profesinya sebagai guru, menjadi pendidik sejati, memperlakukan anak didiknya dengan penuh kasih sayang, memperhatikan masa depan mereka, sehingga menjadi generasi yang berkarakter dan peduli pada kehidupan dan memperoleh derajat kemanusiaan yang sesungguhnya.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa seharusnya setiap persendian manusia mengeluarkan sedekah setiap harinya.  Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedekah setiap harinya mulai matahari terbit. Berbuat adil antara dua orang adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah. Berkata yang baik adalah sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah. (HR. Bukhari). Dan ternyata yang dimaksud dengan sedekah itu adalah kebaikan, utamanya kebaikan dan kemanfaatan kepada sesama.

Sifat egois manusia, sering mengalahkan akal sehat manusia untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesamanya. Buang-buang waktu, pikiran, energi dan uang saja. Pikiran picik inilah yang menghambat manusia menjadi manusia yang bermakna, berderajat, seperti yang dijanjikan Tuhan. Yang sering kita lupakan adalah bahwa, bersikap menjadi manusia yang bermanfaat sesungguhnya kita telah menanamkan kebaikan kepada diri kita sendiri. Sapa nandur, sapa ngundhuh, siapa menabur, dia akan menuai. Firman Tuhan jelas sekali dalam hal ini, dalam QS 17:7 : Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri (QS. 17:7).

Lalu, bagaimana dan darimana menjadi manusia yang berkategori "bermanfaat bagi orang lain" itu. Setidaknya ada 5 (lima) perkara : (1) ilmu, (2) harta, (3) waktu dan tenaga, (4) tutur kata, dan (5) sikap. Mengajarkan kembali ilmu yang kita miliki, akan menambah kekayaan intelektual yang kita miliki; berbuat baik melalui harta kita, berbagi kebahagiaan dengan harta kita, bersedekah dengan harta kita, tidak akan pernah membuat kita miskin, apalah artinya memiliki harta tapi tidak bahagia, berbagi sedikit harta saja dan membuat orang bahagia dengannya, tentunya akan membuat kita menjadi bahagia. Selalu ingat saja, bahwa harta tidak kita bawa mati, justru kita akan dimintai pertanggungjawaban atas penggunaannya. Dengan sedikit waktu kita untuk mendengar orang lain dan membantu kesusahan mereka, pasti juga akan membuat mereka bahagia. Menjaga tutur kata dan bersikap baik kepada orang lain sebenarnya mudah dilakukan, kalau kita tulus melakukannya. Mengajak orang berbuat kebaikan, berpikir positif, bersikap sopan akan membuat kehidupan kita dan orang lain berada dalam kondisi yang positif dan kondusif juga.

Saya kemudian teringat sumpah Tuhan, ya Sumpah Tuhan dalam Surat Al Ashr, Demi Waktu....(simaklah bahwa Tuhan saja bersumpah demi waktu), sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi kecuali orang-orang yang beramal saleh, saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Katanya hidup itu pilihan, tapi jangan salah pilih. Jadi, kehidupan apakah yang akan kita pilih.....????

Tulisan ini utamanya saya tujukan untuk diri pribadi saya sendiri, kalau ada manfaatnya buat rekan-rekan Kompasianer, artinya saya telah memulai belajar memaknai kehidupan itu dengan benar. Rekan-rekan boleh melupakan setiap kalimat yang saya tulis, asal bukan kutipan ayat-ayat Quran dan Haditsnya. Kebenaran dalam tulisan ini semata-mata dari Allah SWT.

selamat menikmati kehidupan......

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun