Mohon tunggu...
Yusrizal Helmi
Yusrizal Helmi Mohon Tunggu... Desainer - Things

Just coffee and stories

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hio untuk Nina

21 Juni 2022   13:10 Diperbarui: 21 Juni 2022   13:17 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Reronce Gongseng tergantung tepat di jendela kamar yang tak pernah ditutup semenjak pemiliknya pergi. Tahun baru imlek, seperti biasa, selalu mengundang angin besar. Pepohonan senantiasa seolah dipaksa meranggas. Para petugas kebersihan jalan umum tampak semakin rajin menyusuri, memungut dedaunan yang gugur di trotoar dan jalan raya. Saat matahari mulai semakin terik, beberapa dari mereka akan beristirahat di bawah pohon beringin. Menikmati teduh, sekaligus memanjakan penat setelah makan siangnya. Tiga sampai empat orang akan bersegera menyandarkan tubuh atau berbaring. Dan pastinya, sesekali--beberapa--pendengaran menangkap talu Gongseng yang disibukkan untuk mengikuti irama angin tahun baru imlek. Ya. Pohon beringin tempat mereka beristirahat, berada tepat di seberang jendela dengan segantung reronce Gongseng tersebut.

Tentang sejak kapan Gongseng menggantung di sana, tidak pernah ada yang tahu pasti. Sebagian berasumsi dengan yakin bahwa Gongseng baru saja terpasang. Mereka yakin karena setiap hari melewati rumah tersebut, dan baru beberapa hari semenjak musim angin datang mereka mengetahui wujudnya dan mendengar talu-talunya. Sedangkan para petugas kebersihan memiliki keyakinan yang berbeda. Mereka telah mendapati Gongseng sejak setahun yang lalu, meski bunyinya tak sekuat saat musim angin kali ini, atau bisa dikatakan tidak berbunyi sama sekali. Yang jelas, sebelumnya tidak pernah ada yang peduli hingga musim angin kali ini tiba.

Semenjak tahun baru imlek kali ini, Gemerincingnya seolah tak pernah berhenti. Angin berkali-kali menggoyang benda tersebut. Tanpa lelah. Tanpa jeda. Saat sepoi-sepoi, talu Gongseng melepaskan irama yang lambat, dengan notasi nada menyerupai Nina Bobo pada sebagian part awalnya. Sedangkan beberapa orang dekat menyebut nada yang dihasilkan serupa lagu yang sering dinyanyikan Sang Nenek saat menidurkan cucunya--Tili-tili Bong. Kesan yang diberikan pun sama persis; pengantar tidur yang bernuansa gelap, bahkan bagi orang-orang dewasa, lagu tersebut cenderung menakutkan. Siapapun, entah disengaja atau tidak untuk ikut larut saat talunya berdenting perlahan disebabkan oleh angin sepoi-sepoi, maka harus bersiap dibawa masuk lebih ke dalam. Ikut terlibat dalam kemuraman suasana di balik jendela itu. Akan dibawa jauh menyusuri lorong-lorong serupa labirin gelap berdinding wajah-wajah meratap, serta sayup teriakan yang menyerupai lolong serigala. Hingga pada satu titik, jiwa-jiwa yang telah larut akan dihempaskan. Membenturi dinding yang seketika berubah penuh dengan grafiti kelamin dan diiringi suara-suara tawa yang tak beradab. Sebuah hempas yang datang bersamaan kedatangan angin besar. Menciptakan gemerincing yang sakit. Tidak beraturan. Terkadang menghentak sesuai beberapa ketuk stacato ajeg yang sesuai tempo, dan setelahnya menjadi talu acak yang memekak.

Pengalaman seperti itulah yang disampaikan oleh dua petugas kebersihan yang biasanya melepas penat di seberang jendela itu. Irama yang membuat mereka tak pernah berani lagi untuk beristirahat di bawah pohon beringin tersebut. Bahkan sebulan setelah pengalaman mengerikannya, mereka mulai kehilangan kewarasan. Tiba-tiba merasa dikepung ketakutan saat melihat apa saja yang berupa jendela. Di rumah, di jalan, di kantor, dan di mana saja.

Cerita ini perlahan menyebar dari mulut ke mulut. Teman-teman dari petugas yang telah kehilangan kewarasan tersebut, menceritakannya. Mereka sangat antusias bercerita kepada siapa saja yang ditemui di warung kopi, dan para tetangga saat mendapat giliran ronda. Tentunya dengan beberapa imbuhan cerita untuk semakin mendramatisir keadaan.

Warga sekitar dan lalu lalang di sekitar ruko dengan jendela berbandul Gongseng tersebut mulai tertarik perhatiannya. Siapapun akan menyempatkan diri mendongak sedikit ke atas untuk menangkap keberadaan dan bunyi-bunyian yang ditimbulkan. Untuk sementara waktu, musim angin di tahun baru imlek kali ini menyelamatkan logika genta yang dihasilkan Gongseng di jendela sebuah ruko tersebut.

"Tidak ada yang aneh. Lihat, Gongseng tersebut bergoyang sesuai kuantitas angin. Apalagi sekarang adalah musim angin. Jangankan Gongseng, pohon-pohon bisa saja tercerabut dari akarnya ketika angin berhembus kencang," ujar ketua RT setempat saat mencoba mericek ulang desas-desus warga yang semakin hari semakin tidak menentu arah pembicaraannya.

Benar. Sebagai ketua RT, tentunya beliau akan merespon kegelisahan warga. Setidaknya, memberi klarifikasi untuk meluruskan kembali persepsi masyarakat sekitar. Mengembalikan pandangan masyarakat yang telah bergebalau disergap takhayul.

Warga kembali tenang. Kisah-kisah tentang kematian tak wajar Nina atau Xin Giong yang mati bunuh diri di balik jendela dengan segantung Gongseng itu perlahan memudar. Rentetan peristiwa yang memicu dirinya untuk mengambil pilihan mengakhiri hidup, juga kembali terkubur. Karena sejatinya, siapapun yang terlibat dalam sebuah tragedi kemanusiaan akan berupaya kuat untuk melupakannya.

Musim angin tahun baru imlek berakhir juga. Keganjilan malah dimulai dari sini. Gemerincing Gongseng tetap saja bertalu-talu sesuka hati. Tanpa angin besar, tetap saja menyalak-nyalak pada saat-saat tertentu. Irama denting juga tidak berubah seperti saat awal musim angin tiba.

"Aneh," ujar seseorang kepada temannya saat sedang melewati rumah dengan jendela dan gantungan reronce Gongseng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun