Mohon tunggu...
yusril iza
yusril iza Mohon Tunggu... Lainnya - Volunteer

Belajar dari hal yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi Gerakan Perempuan dalam Melawan Politik Patriarki di Indonesia: Sebuah Momentum Hari Internasional Women's Day

10 Maret 2024   20:06 Diperbarui: 10 Maret 2024   20:34 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kerentanan perempuan dalam ketidaksetaraan sosial di hadapan laki-laki menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Sejauh mata memandang, kerentanan perempuan akan berdampak kesetaraan hak dan pembagian kerja yang berasal dari sudut pandang laki-laki. Di mana kesetaraan hak dapat diartikan sebagai kesetaraan sosial bagi perempuan, tanpa diskriminasi, pengucilan, dan penindasan. Sama halnya dengan pembagian kerja yang harus diberikan oleh Perempuan dengan nilai kebebasan, kesamaan, dan kesempatan. Sebab tanpa adanya kesetaraan dan pembagian kerja yang sama, maka perempuan selalu berada pada inferior klas dari kaum laki-laki.  

Kerentanan perempuan ini, dibuktikan dari sudut pandang sosial. Seperti di ruang politik, di mana perempuan yang masih sedikit di dalam kekuasaan, sehingga menyebabkan ketimpangan kuantitas dan kualitas. Ketimpangan suara akan berdampak pada kebijakan dan tentunya Keputusan politik tersebut dimenangkan oleh kaum laki-laki. Secara pembagian ruang politik, perempuan sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 memiliki ruang sebanyak 30 Persen, sebagai pemenuhan bagi partai politik untuk Calon Legislatif. Maka kalau dihitung pada persentase, kursi perempuan berjumlah 172 Kursi dari 575 kursi. Apabila merujuk pada hasil pemilu 2019, keterwakilan perempuan di DPR pada angka 20,8% atau 120 anggota legislatif. (MPR.go.id).

Keterwakilan perempuan sebanyak 30 Persen di Parlemen, sebenarnya membuat dilema. Klausul itu, mengartikan bahwa perempuan masih memiliki pembagian lebih kecil dibandingkan laki-laki, sehingga menandakan bahwa perempuan belum dapat setara atas ruang politik yang ada di Indonesia. Namun, ketika tidak memiliki aturan 30% sebagai pemenuhan hak perempuan, maka tidak ada kewajiban bagi partai politik untuk mencalonkan perempuan dalam perebutan kursi yang ada di DPR. Selanjutnya, Jumlah keterwakilan perempuan sebagai Daftar Calon Tetap (DCT) di 2024 berkisar pada angka 37,13% menurun dibandingkan 2019 dengan Jumlah DCT mencapai angka 40%. Berdasarkan penjelasan tersebut, terjadi penurunan partisipasi perempuan dalam mencalonkan sebagai calon Dewan Perwakilan Rakyat.

Jumlah penurunan dari partisipasi politik maupun jumlah yang masih kecil di DPR, menandakan bahwa sistem politik Indonesia masih jauh dari kesetaraan. Begitu juga dengan pengambilan Keputusan di DPR, meskipun ketua DPR RI berasal dari kaum perempuan, tetapi dominasi pengaruh masih berada kaum laki-laki. Terlihat sekali, pada saat melakukan rapat DPR, lebih banyak laki-laki yang berbicara dan mengusulkan ide, bahkan suara perempuan berada di bawah meja yang tidak terlihat sama sekali. Kebanyakan pengambilan Keputusan maupun perdebatan tidak inklusif terhadap perempuan, sehingga membuat sistem politik di Indonesia lebih pada sistem politik Patriarki,

Politik Patriarki sebagai sistem politik yang di kuasai oleh laki-laki, baik secara kuantitas, sudut pandang, dan struktural. Selanjutnya patriarki Menurut History Matters yakni Judith Bennett merupakan problem utama dalam sejarah perempuan dan bahkan problem terbesar dalam sejarah manusia. Bennett menyebutkan bahwa patriarki sebagai sebuah sistem tempat di mana laki-laki mendominasi, melakukan operasi dan eksploitasi perempuan (Bennett, 2006:58). Berdasarkan itu, maka Politik Patriarki menurut penulis dapat mengancam kaum perempuan yang hanya dijadikan sebuah objek eksploitasi maupun diskriminasi sosial.

Berbicara mengenai penguasaan politik patriarki, tentunya tidak terlepas dari sebuah sejarah gerakan perempuan dalam membebaskan politik patriarki. Sejarah gerakan perempuan terhadap pembebasan politik patriarki, dimulai dengan gerakan perempuan di Finlandia. Waktu itu, lebih dari 17 Negara yang menginginkan seluruh negara untuk memperingati hari perempuan sedunia. Tahun 1911, yakni pada tanggal 19 Maret merupakan aksi 1 juta perempuan untuk menuntut hak politik dalam pemilu dan mengisi jabatan pemerintahan, hak bekerja, kesempatan, dan penghapusan diskriminasi pekerjaan. Gerakan ini di pelopori oleh Clara Zetkin sebagai pemimpin Partai Demokrasi Sosialis Jerman. Semenjak peristiwa 19 Maret 1911, membuat kaum perempuan memiliki rasa kepedulian terhadap perjuangan gerakan politik di Amerika Serikat. 

Peristiwa kebakaran di Pabrik Garment New York memicu gelombang protes buruh perempuan. Kaum perempuan Kaum Rusia juga mendesak digulingkannya Tsar. Mereka menyuarakan "Roti dan Perdamaian" pada 1913 dan terus membesar pada 1917 hingga menolak perang dunia I. Empat hari kemudian, kerajaan Tsar (raja) Rusia tumbang dan pemerintahan sementara mengakui hak pilih perempuan. Hari bersejarah itu jatuh pada 23 Februari di kalender Julian Rusia atau 8 Maret sesuai kalender Masehi yang digunakan umum di dunia. Sejak saat itu, Hari Perempuan Sedunia diperingati pada 8 Maret di seluruh dunia dan diresmikan oleh PBB (Persatuan Bangsa Bangsa).

Refleksi Gerakan Perempuan Saat Ini

Dikotomi Perempuan dan Laki-Laki di ruang politik, telah memiliki catatan sejarah yang cukup kelam di Indonesia. Sejak Indonesia memproklamasikan hingga saat ini, kaum perempuan selalu ditinggalkan baik dari hak kesetaraan sosial, pendidikan, politik, sampai pekerjaan. Salah satu penyebabnya, terletak pada anomali kebudayaan yang tidak menjunjung martabat perempuan, di karenakan sisa-sisa yang ditinggalkan oleh jajahan maupun dogma agama. Di sisi lain, konteks masyarakat terbelakang, membuat bertahannya posisi laki-laki di atas perempuan. Menurut Engels adanya Dikotomi perempuan dan laki-laki di tandai dengan revolusi Industri. Kemunculan mesin membuat adanya perubahan tenaga kerja, di mana pekerjaan yang berat berada pada laki-laki. Revolusi Industri berdampak pada perempuan di Indonesia. Adanya revolusi industri ini, membuat konstruksi berpikir yang jauh lebih dikotomi. Sehingga, dampaknya perempuan hanyalah sebatas pekerjaan subordinat dan termarginalisasi.

Gerakan perempuan dalam melawan politik patriarki di Indonesia, telah memiliki andil yang sangat besar, sebagai catatan perjuangan rakyat. Ada yang di beri penghargaan sebagai pahlawan perempuan Indonesia, seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Cut Nyak Meutia, Cristina Martha Tiahahu, Raden Ajeng Kartini, dan lainnya. Ada juga tokoh perempuan yang terkenal karena perlawanannya terhadap Pemerintah seperti Marsinah. Nama mereka masih di ingat oleh masyarakat Indonesia, bahkan menjadi semangat bagi gerakan perempuan seperti marsinah dalam melakukan aksi-aksi kaum buruh yang menuntut kesetaraan. 

Gerakan Perempuan saat ini, telah mengalami degradasi yang parah. Dikotomi sesama perempuan sangat berperan besar, dalam memisahkan perempuan kaya dan perempuan termarjinalkan. Di tambah, dengan kesadaran politik yang masih minim, membuat dorongan gerakan perempuan terhambat. Hal ini, menjadi kemenangan bagi kaum laki-laki sebagai representatif patriarki. Gerakan perempuan harus mengatasi problem internal. Dikotomi sesama perempuan harus dihapuskan, dan dipersatukan kembali, dalam rangka pembebasan dari politik patriarki. Apabila masih ada dikotomi perempuan, maka perempuan yang memiliki kekuasaan dan modal juga disebut sebagai kalangan yang membiarkan sistem patriarki tetap ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun