Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Tersesat” ke Tanah Suci (2): Dongeng Berhala

3 April 2014   23:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13965179142012317384

Deretan lift, tak kurang dari dua puluh di semua sisi --tiap lift berkapasitas 51 orang-- seperti tak pernah berhenti naik-turun memuntahkan dan memasukkan penumpang. "Acara" perburuan lift pun bagi saya ada tontonan menarik, karena banyak di antara pengguna dan calon pengguna, seperti tak terbiasa disiplin mengantre. Setidaknya, kalau semua sadar untuk selalu tertib, tak akan terjadi dan peristiwa-peristiwa lucu dan konyol.

Tak sempat lama berjalan-jalan. Ini Jumat. Teringat pesan Mas Imam, mutawif  kami, jika mau jumatan lebih dekat ke Kabah, harus datang lebih pagi. Betul saja. Saya merasa sudah sangat dini ketika pukul 10.30 bergegas turun dari kamar. Tiba di depan deretan lift, ternyata orang sudah berjubel.

Saya terasing di tengah jubelan manusia dari berbagai bangsa di depan elevator itu. Dan, merasa mendapat berkah ketika dari sisi kanan ada yang mencolek dan bertanya dalam bahasa yang saya kenal, “Assalamualaikum, sendiri saja, Mas?”  Ternyata Anton Apriantono, mantan Menteri Pertanian. Dia bersama dua rekannya, sama bergegas dengan saya untuk memburu tempat dekat Kabah.

Kami pun menyatu dengan ribuan orang mengalir dari berbagai penjuru, menuju satu titik, Kabah. Subhanallah, saya yang merasa sudah berangkat lebih pagi ternyata terlambat. Masjidil Haram sudah sesak. Askar sibuk mengatur orang-orang dan menghalau siapa pun yang duduknya menghalangi lalu-lalang orang lain.

Kami terpisah, Pak Anton terbawa arus jemaah di depan saya. Saya sedang mencari-cari ruang kosong ketika seorang askar menghardik dan menyuruh saya minggir, atau duduk di saf terdekat. Ia menunjuk ke ruang di sela orang-orang, maksudnya mungkin “Tuh masih ada tempat, kamu duduk di sana. Jangan menghalangi lalu lintas.”

Saya pun melangkah, ke tempat yang ditunjuknya. Di depan orang berkemeja batik. Nah, kebetulan ada saudara. Pasti dari Indonesia. Baru saja mau duduk, orang berbatik  yang tadinya tampak khusyuk berzikir ini, menengadah. Melotot, dan bicara cukup keras. “Jangan! Itu tempat teman saya. Sana, cari tempat lain...!”

Astagfirullah, dibentak dan diusir saudara sendiri. Dengan susah payah, saya melangkah lagi meninggalkan saf itu. Baru saja kaki menginjak gang untuk lalu-lalang, askar tadi menghardik lagi menyuruh pergi.

Pada saat yang sama, seorang jemaah yang duduk persis di sisi gang, menggeser tubuhnya yang tinggi besar dan menarik tangan saya, menyuruh duduk di sebelahnya. Alhamdulillah. Saya berterima kasih. Lalu salat sunat.

Sambil duduk saya lirik orang tinggi besar berkulit pucat ini, mencoba mencari tanda-tanda dari mana dia berasal. Pada emblem pengenal yang dikalungkannya, saya melihat logo bendera negara Albania. O, ya. Bukankah Kalifah Usmaniyah pernah menguasai negara jazirah Balkan itu.  Alhamdulillah, berkat saudara dadakan dari tetangga Kosovo ini saya bisa salat dengan tumaninah, di depan Kabah!

Si Albania ini lebih memiliki empati ketimbang si Batik tadi. Saya teringat cerita mengenai muslim Albania yang mempertaruhkan nyawanya menyelamatkan dan melindungi orang-orang Yahudi dari kekejaman rezim Hitler. Di negeri kita, karena dianggap beda, orang-orang Ahmadiyah diuber-uber, dianiaya bahkan ada yang dibunuh.  (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun