“Hei! Apa yang kalian lakukan? Menjauhlah darinya! Kalian hanya menghalangi sinarku saja! Menjauh! Cepat!” mentari berteriak pada awan.
“Tapi kami tak tega melihat wanita itu kepanasan dan hampir pingsan,” ucap awan I bergetar.
“Beraninya kamu membantah perkataanku?! Kamu lupa bahwa akulah raja di sini? Menyingkir!” mentari murka, ia memancarkan sinar yang lebih terik. Awan tak berani membantah. Mereka kembali menjauh dengan sedih. Karena sinar mentari yang semakin terik, orang yang berolah raga pun banyak yang berhenti dan beristirahat. Namun, seorang wanita berjaket merah tidak menyerah, dia terus saja berjalan cepat meski keringat mengalir deras di wajahnya.
“Sudah Bu, berhenti saja. Nanti ibu pingsan,” awan I mencoba memberitahu wanita itu meski wanita itu takkan bisa mendengarnya. Awan III mendekati awan I dan berbisik,
“Aku tahu caranya agar si mentari kena batunya,” ucap awan III.
“Bagaimana caranya?” awan I penasaran.
“Aku akan mengumpulkan massa, akan kuajak awan dari ujung timur ke ujung barat sana untuk berkumpul di sini. Kita akan berkumpul bersama menutupi mentari, lalu kita akan menangis bersama agar mentari tak bisa memarahi kita. Bagaimana menurutmu?” awan III memberikan usul.
“Apa kamu yakin awan yang lain akan mau mengikuti rencana kita? Bukankah mereka takut pada mentari?” awan I masih ragu.
“Kau lupa siapa aku? Apa pun bisa aku lakukan, tenang saja. Mereka akan menurut padaku, lihat saja nanti. Kalau kau setuju, kau ajak awan II dan tunggu di sini, alihkan perhatian mentari agar dia tidak menyadari bahwa aku sedang mengumpulkan massa,” lanjut awan III.
“Bagaimana caranya mengalihkan perhatian mentari?” tanya awan I lagi.
“Ya ampun, hal kecil seperti itu apa harus kuberi tahu juga? Mikir dong,” awan III tampak kesal karena awan I terlalu lama berpikir.