A. LATAR BELAKANG
Manusia disebut sebagai makhluk sosial karena manusia akan selalu hidup berdampingan dengan manusia lainnya. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan mempertahankan hidupnya selalu membutuhkan manusia lain di sekelilingnya. Setiap manusia juga memiliki dua kedudukan yaitu sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Sebagai individu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri secara pribadi, sedangkan sebagai anggota masyarakat berhubungan dengan bagaimana seorang individu menjalin hubungan dengan orang lain.
Setiap daerah memiliki kebudayaan atau tradisi yang beraneka ragam. Kebudayaan selalu berhubungan erat dengan masyarakat. Dari kebudayaan suatu daerah tertentu maka dapat tergambar interaksi sosial masyarakat yang ada di dalamnya. Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu dengan individu atau antar kelompok dengan kelompok lainnya dan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Lewat kebudayaan atau tradisi di suatu daerah maka dapat terwujudlah interaksi sosial masyarakat di daerah tersebut. Misalnya salah satu kebudayaan yang ada di masyarakat suku Dayak Lebang Nado di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat yaitu budaya Behido dan sambut tamu dengan tuak pekejang.
B. PEMBAHASAN
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Menurut Andreas Eppink[1], kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Dalam hal ini berarti bahwa kebudayaan suatu daerah dapat menggambarkan keadaan kehidupan sosial dan religi suatu daerah tersebut. Semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar[2]. Jadi, budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan yang dipelajari masyarakat antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bercocok tanam, bertukang serta berelasi dalam masyarakat atau lazim disebut dengan interaksi sosial.
Menurut H. Bonner[3] bahwa interaksi sosial merupakan hubungan antara individu atau lebih, dimana individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki individu yang lain atau sebaliknya. Hampir senada dengan pendapat sebelumnya, Gillin dan Gillin menyatakan bahwa interaksi sosial adalah hubungan antara orang-orang secara individual, antar kelompok orang, dan orang perorangan dengan kelompok[4]. Sementara itu menurut Walgito[5] interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain yang saling mempengaruhi dan terdapat hubungan saling timbal balik. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara individu dengan individu ataupun antar kelompok masyarakat dimana dalam proses interaksi tersebut antar masyarakat bisa saling mempengaruhi satu sama lain untuk saling memperbaiki diri sehingga tercipta hubungan yang harmonis di antara masyarakat.
Makalah ini hendak menggambarkan interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat suku Dayak Lebang Nado dalam tradisi sambut tamu dengan tuak pekejang dan tradisi behido. Suku Dayak Lebang Nado merupakan salah satu suku asli Kalimantan Barat yang tinggal di daerah Kabupaten Sintang khususnya di Kecamatan Kayan Hilir serta Kecamatan Dedai. Suku dayak ini tersebar di berbagai desa pada dua kecamatan tersebut. Suku Dayak Lebang Nado mayoritas menganut agama Khatolik. Adapun salah satu desa yang cukup padat penduduknya adalah Desa Tuguk dengan jarak tempuh sekitar dua jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Kota Kabupaten Sintang. Semboyan masyarakat dayak Lebang Nado adalah “Idop nyelamo igan jago hengadok mensio ari kemiak hampai tuo dengan berkat petara,” yang artinya “Hidup selamat, sehat selalu umat manusia dari yang masih kecil sampai jadi orang tua karena berkat Tuhan Yang Maha Esa[6].
Kebudayaan masyarakat suku Dayak Lebang Nado masih cukup terjaga dengan baik misalnya budaya menyambut tamu dengan tuak pekejang dan gawai tutup taon (Behido). Budaya menyambut tamu di suku Lebang Nado merupakan acara adat ketika ada tamu penting yang datang, misalnya Bupati, anggota DPR, atau pun tokoh masyarakat yang berpengaruh lainnya. Biasanya upacara penyambutan tamu ini diadakan apabila ada acara penting di desa tersebut misalnya acara Musyawarah Adat Dayak Lebang Nado. Sebelum diadakan acara adat ini, masyarakat bergotong royong untuk mempersiapkan keperluan upacara adat. Dalam hal ini terjadinya pembagian tugas di antara masyarakat, ada yang bertugas menyediakan batang tebu yang nantinya akan ditebas oleh tamu yang datang, ada yang bertugas membuat minuman tradisional dari fregmentasi beras ketan (pulut) yang dikenal dengan sebutan tuak pekejang. Meskipun biasanya dibentuk panitia khusus untuk pelaksanaan acara ini, tetapi masyarakat yang lain juga ikut berpartisipasi demi kelancaran acara tersebut. Misalnya ikut menyumbangkan beras ketan (pulut) yang merupakan bahan dasar pembuatan tuak pekejang, ikut menyumbangkan hasil ladang (umo) yang berupa sayur mayur atau engkayuk seperti perengi, jangat, umut rian kepalo, sibung atau pun daun bungkang sebagai bahan penyedap masakan. Kaum ibu juga ambil bagian dalam menyiapkan acara ini, misalnya saling membantu memasak, atau saling meminjamkan alat masak yang mereka miliki. Acara penyambutan tamu biasanya dipimpin oleh ketua adat setempat. Tamu penting yang datang akan disambut dengan batang tebu yang dipasang melintang. Kemudian tamu penting tersebut diberi parang untuk menebas batang tebu. Hal ini sebagai simbol agar segala halangan dan rintangan dapat teratasi atau dibuang jauh-jauh sehingga kegiatan dapat berangsung dengan lancar. Kemudian ketua adat memberikan tuak pekejang yang disediakan dalam tempat khusus yang dibuat menyerupai bentuk rumah sebagai tanda bahwa masyarakat menerima kedatangan tamu tersebut (upacara sambut tamu ini dapat dilihat di lampiran gambar). Dalam upacara sambut tamu ini dapat dilihat bahwa interaksi atau hubungan sosial antar masyarakat Lebang Nado terjalin dengan baik karena masyarakat mau membantu satu sama lain dalam mempersiapkan acara penyambutan tamu dengan tuak pekejang ini. Lancar tidaknya upacara penyambutan tamu ini juga bergantung dari kerja sama masyarakat Lebang Nado.
Selain acara penyambutan tamu dengan tuak pekejang, tradisi suku Dayak Lebang Nado yang lainnya adalah acara gawai tutup taon atau biasa dikenal dengan behido. Dalam tradisi behido ini juga tergambar jelas interaksi sosial yang terjadi antar masyarakat. Tradisi behido merupakan bentuk rasa syukur masyarakat kepada Tuhan (petara) atas hasil panen yang didapat dari ladang (umo). Tradisi behido biasanya dilaksanakan pada bulan Juni-Juli setelah panen padi (manyi). Interaksi sosial masyarakat suku Lebang Nado ini terjadi tidak hanya ketika acara behido berlangsung, tetapi jauh sebelum itu. Karena sejak menyiapkan lahan sampai ke proses memanen padi (manyi), masyarakat sudah saling membantu satu sama lain. Masyarakat Lebang Nado masih berladang secara tradisional. Proses berladang (beumo) masyarakat Dayak Lebang Nado diawali dengan menyiapkan lahan untuk ladang (umo). Biasanya lokasi dipilih di daerah perbukitan karena tanahnya lebih subur. Pada saat menyiapkan ladang ini dimulai dengan neban[7]. Pada saat neban bisa dilakukan oleh masing-masing orang yang mempunyai ladang ataupun bisa juga dengan bantuan masyarakat lain, proses neban juga bisa diganti dengan menyemprot rumput dengan herbisida. Kemudian setelah neban dilanjutkan dengan nebang[8]. Beberapa hari kemudian, setelah rumput dan pohon kering dan cuaca tidak hujan maka dilakukan proses nunu[9]. Biasanya pada saat nunu, pemilik ladang akan membawa beberapa orang untuk membantu prosesnya terutama orang yang memiliki lahan yang berada di dekat lahan ladangnya. Hal ini dilakukan agar apabila api merambat ke luar lahan, maka mereka dapat saling membantu memadamkan api tersebut.
Selanjutnya, setelah lahan siap maka dilakukan proses nugal[10]. Pada saat nugal ini, masyarakat akan bergotong royong dari satu ladang ke ladang lain, masyarakat biasa menyebutnya dengan ganti hari. Maksudnya adalah apabila si A ikut nugal di ladang si B sebanyak tiga hari, maka si B juga harus ikut nugal di ladang si A sebanyak tiga hari pula. Proses dari neban hingga nugal biasanya dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus. Selanjut bila padi sudah siap panen, biasanya terjadi pada bulan November- Desember ataupun bulan Januari-Februari, maka masyarakat kembali bergotong royong dari ladang satu ke ladang lainnya untuk manyi[11]. Sama dengan proses nugal, pada proses manyi juga dikenal sistem ganti hari. Ketika nugal dan manyi berlangsung maka si pemilik ladang akan menyediakan makanan untuk masyarakat lain yang ikut nugal dan manyi. Dalam hal ini, dapat terlihat hubungan timbal balik antar masyarakat. Masyarakat dengan suka rela bergotong royong membantu satu sama lain dalam proses berladang ini. Sehingga proses neban, nebang, nunu, nugal dan manyi pun bisa selesai dalam waktu yang relatif singkat meskipun ladangnya cukup luas. Bayangkan saja jika tidak ada kerja sama antar masyarakat, tentu proses berladang ini akan berlangsung sangat lama. Apalagi jika ladangnya berukuran cukup luas.
Setelah manyi atau panen padi usai, maka masyarakat suku dayak Lebang Nado mengadakan acara behido atau gawai tutup taon sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang telah di dapat. Biasanya dilaksanakan pada bulan Juni. Dalam pelaksanaannya masing-masing desa menentukan tanggal serta harinya yang sebelumnya sudah dimusyawarahkan oleh kepala kampung dengan masyarakatnya. Setelah ada kesepakatan tentang waktu pelaksanaan behido maka masing-masing desa memberitahukan (mehan ngabang) kepada keluarga atau sanak saudara yang berbeda kampung untuk datang pada acara tersebut. Untuk memeriahkan dan menjamu tamu atau keluarga yang datang pada acara behido, setiap rumah menyiapkan makanan serta minuman termasuk minuman khas suku Dayak yaitu tuak dan daging babi sebagai sesuatu yang harus ada untuk disediakan kepada tamu (pengabang). Terkadang beberapa rumah juga menyediakan kue-kue kering atau pun kue tradisional yang terbuat dari beras ketan yang ditumbuk halus kemudian dibentuk bulat atau menyerupai perahu dan kemudian digoreng yang biasa disebut sebagai perau babang sebagai makanan pelengkap. Biasanya acara ini berlangsung satu hari satu malam, sehingga pada hari kedua para pengabang sudah pulang ke kampung masing-masing untuk menyiapkan pesta berikutnya, karena pesta ini diadakan secara rolling atau bergiliran dari kampung satu ke kampung berikutnya. Ketika pengabang hendak pulang biasanya pemilik rumah akan membungkuskan makanan yang disediakannya untuk dibawa pulang oleh pengabang. Hal ini dimaksudkan agar keluarga pengabang yang tidak ikut ngabang pada saat itu juga dapat menikmati hidangan yang disediakan. Meskipun hidangan tersebut dibagi sedikit-sedikit, masyarakat Lebang menyebutnya untuk pelepun atau posek.