Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paradigma Keliru tentang Doa

11 Mei 2018   12:56 Diperbarui: 11 Mei 2018   12:58 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Essay oleh Akhmad Faishal

Pertama-tama, penulis tidak bermaksud mendeskritkan atau merendahkan tentang makna doa. Terutama yang berkaitan mengenai kebiasaan berdoa yang diikuti khususnya oleh siswa-siswi menjelang kelulusan. 

Acap kali kita selalu menyaksikan fenomena gelaran tahlil atau istighosah oleh beberapa sekolah guna meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dapat mempermudah dalam mengerjakan Ujian Nasional atau Ujian SBMPTN guna lulus sekolah atau lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi favorit.

Tentu, hal ini tak bisa penulis kritik atau bahkan menyalahkan. Namun, faktanya kita terlalu mudah meminta sesuatu kepada-Nya tanpa benar-benar dan sungguh-sungguh melakukan apa yang harus kita lakukan. Apa benar selama tiga tahun sekolah, para pelajar seluruh Indonesia sudah benar-benar belajar dengan baik? Jika pun benar demikian, mengapa mereka masih kesulitan untuk dapat mengerjakan ujian nasional dan malah menyindir serta menulis kata-kata lucu pasca UN? Dengan demikian siapakah yang salah siswa, guru, kemendikbud, mendikbud atau Tuhan dimana kita telah meminta kemudahan tapi justru malah tidak dipermudah. Artinya, sia-sia saja melakukan tahlil dan istighosah?

Tulisan ini merespon dan ingin mengembangkan masalah yang terjadi pasca UN. Untuk tulisan-tulisan lucu dari siswa sudah dijelaskan baik oleh Sugiharto dengan judul "Menyoal Soal Ujian Nasional" beberapa waktu yang lalu (3/5). Dan di kolom yang sama ini, penulis menitik beratkan pada fenomena yang terjadi tentang doa yang begitu mudah dilakukan tapi dalam praktek-praktek lain sesungguhnya masih belum maksimal.

Penulis menduga ada upaya menutupi kinerja belajar murid yang tidak maksimal dengan doa-doa yang dilakukan. Terlebih ada upaya lain dengan 'menyuap' para fakir miskin dan anak-anak panti asuhan yang mereka minta untuk juga mendoakannya. Apakah hal itu berpengaruh? Entahlah, warisan tindakan tradisional ini sangat erat sekali kaitannya di Indonesia. Padahal, di negara maju hal ini justru tidak ada, mereka malah lebih menyibukkan diri dengan belajar mati-matian dan sungguh-sungguh demi ketercapaian yang mereka anggap mutlak.

Para pelajar di luar negeri lebih memilih untuk mengesampingkan keyakinannya untuk sementara dan lebih memilih menggunakan rasio demi ketercapaiannya itu. Memang, dalam hal ini tidak sungguh-sungguh menghilangkan keyakinannya itu tapi, doa seharusnya dilakukan setelah kita berjuang mati-matian, setelah belajar dengan sungguh-sungguh dan terlebih intens, bukan hanya karena di akhir tahun ajaran.

Doa yang dilakukan di akhir tahun ajaran seperti ini menggambarkan kita masih melupakan tujuan sebenarnya dari sekolah. Kita sudah diberikan waktu yang lumayan panjang, sekitar tiga tahun sekolah, tapi menyia-nyiakan begitu saja. Dan begitu para pelajar ini diuji lalu tidak bisa, akhirnya mereka menyindir, memaki, serta membuat kata-kata lucu untuk menggambarkan penderitaan mereka. Kecuali apabila mereka dapat membuktikan selama tiga tahun ini soal-soal yang keluar pada ujian nasional berbeda dari apa yang mereka pelajari selama itu.

Nah, doa muncul pada situasi-situasi sulit saat dimana dulu para pelajar masih menggampangkan. Ah, waktunya masih lama. Ternyata, doa saja dianggap tidak cukup, harus ada trik-trik lain agar anak didiknya lulus. Seperti, bocornya soal UN. 

Ada orang-orang tertentu yang tidak ingin anak didiknya tidak lulus. Bertaruh dengan nama baik sekolah. Kembali lagi, mengapa para pelajar tidak berdoa setiap waktu sejak pertama kali mereka sekolah dengan sungguh-sungguh, mengapa kita harus mengadakan dan menggelar doa-doa seperti tahlil atau istighosah baru disaat-saat akhir seperti itu?

Indonesia tidak akan maju jika sikap tradisional seperti ini masih saja terus dilakukan. Kurangnya mengembangkan sikap disiplin secara maksimal dan kerja keras serta masih rendahnya tindakan sosial instrumental rasional di kalangan pelajar. Entah karena godaan hiburan yang luar biasa di sekeliling mereka atau teknologi yang memudahkan mereka mengalihkan barang sejenak fokus belajar yang nyatanya malah tidak pernah dapat kembali kefokusannya. Fokus itu akhirnya didapat ketika di akhir-akhir tahun ajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun