Islam diakui sebagai agama yang memperkenalkan pembaruan, termasuk dalam aspek hukum keluarga. Dalam bukunya, Dr. Agus Hermanto menjelaskan bagaimana hukum Islam mengalami perubahan dari hukum Jahiliyah---hukum yang berlaku di masyarakat Arab sebelum datangnya Islam---menjadi suatu sistem hukum yang lebih adil dan setara. Hukum Jahiliyah memiliki tiga ciri utama: pertama, bersifat rasial, di mana kesukuan dan fanatisme kelompok lebih diutamakan; kedua, feodal, yang mengangkat status sosial orang-orang kaya dan bangsawan di atas rakyat biasa; dan ketiga, patriarkis, yang menempatkan laki-laki di posisi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Kehadiran Islam bertujuan untuk merombak semua karakter tersebut dengan pendekatan yang lebih egaliter.Pandangan yang sejalan diungkapkan oleh Muhammad Rohmaan Faharoly dan Ahmad Hanif Fahruddin, yang menyatakan bahwa masyarakat Arab sebelum Islam memang mencerminkan ketiga karakter tersebut. Sebaliknya, hukum Islam berusaha untuk menciptakan sistem yang lebih setara, tanpa membedakan berdasarkan suku, kekayaan, atau jenis kelamin.
Ali Sodiqin secara khusus meneliti pembaruan dalam hal perceraian dan menjelaskan bahwa Al-Qur'an mengatur soal ini dalam tiga surat: al-Baqarah, al-Nisa', dan al-Talaq. Dari sudut pandang sejarah dan antropologi, ayat-ayat mengenai perceraian ini muncul dalam dua tahap. Pertama, prinsip-prinsip umum ditetapkan dalam surah al-Baqarah, sebagai langkah awal reformasi terhadap praktik perceraian sembarangan di era Jahiliyah yang merugikan perempuan. Tahap kedua melibatkan penetapan aturan teknis, seperti syarat-syarat dalam proses talak, kewajiban suami untuk memberikan mut'ah kepada istri selama masa iddah, serta keharusan ada saksi saat talak dijatuhkan.
Sayangnya, hukum Islam yang tertulis dalam kitab-kitab fikih sering kali masih dipengaruhi oleh pandangan patriarkis. Akibatnya, praktik hukum keluarga Islam di berbagai negara Muslim seringkali menghidupkan kembali nilai-nilai masyarakat Jahiliyah yang mendiskriminasi perempuan. Untuk mengatasi masalah ini, pada abad ke-20 muncul gerakan pembaruan hukum keluarga Islam, yang berawal dari Turki dan Mesir, lalu menyebar ke negara-negara Muslim lainnya, termasuk Indonesia. Di Indonesia, lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi salah satu tonggak penting dalam pembaruan hukum keluarga Islam.
Gagasan dari gerakan pembaruan ini umumnya bertujuan untuk menyesuaikan hukum Islam dengan semangat pembaruan yang sejati, yaitu menciptakan hukum keluarga yang adil dan setara antara suami dan istri dalam kehidupan sehari-hari. Meski begitu, masih banyak ketentuan dalam undang-undang yang bersifat patriarkis dan belum sepenuhnya mencerminkan prinsip egalitas.
Mengenai format pengaturannya, negara-negara Muslim berbeda-beda dalam menyusun undang-undang hukum keluarga Islam. Pertama, ada negara yang membuat undang-undang terpisah untuk setiap aspek hukum keluarga, seperti waris, wasiat, dan perkawinan, contohnya Mesir. Di antara negara-negara ini, ada yang mengatur hampir seluruh aspek hukum keluarga, seperti Mesir, dan ada pula yang hanya mengatur beberapa aspek saja, seperti Kuwait.
Kedua, terdapat negara yang hanya mengatur satu bidang hukum keluarga dalam undang-undangnya, misalnya hanya mengatur perkawinan atau perceraian saja. Ketiga, ada negara yang mengatur beberapa aspek hukum keluarga sekaligus dalam satu kumpulan peraturan, seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang mencakup hukum perkawinan (Buku I), waris (Buku II), dan wakaf (Buku III). Selain KHI, Indonesia juga memiliki undang-undang khusus, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Di sisi lain, Syamsul Anwar mengemukakan bahwa pembaruan hukum keluarga Islam pada abad ke-20 baru mencakup aspek hukum yang konkret, tanpa menjangkau asas-asas umum dan prinsip dasar hukum Islam. Sebagaimana diamanatkan oleh teori tingkatan norma hukum Islam, pembahasan hukum seharusnya meliputi tiga tingkatan: hukum konkret (al-ahkam al-far'iyyah), asas umum (al-usul al-kulliyyah), dan nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah). Hukum konkret mencakup hal-hal teknis seperti kewajiban, larangan, hal yang makruh, diperbolehkan, serta syarat dan sebab. Sementara itu, asas dan prinsip dasar merupakan norma yang lebih tinggi, seperti prinsip bahwa setiap bentuk muamalah pada dasarnya diperbolehkan kecuali yang dilarang secara tegas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI