Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengelola Karakter Baik versus Tabiat Buruk

21 Desember 2018   17:27 Diperbarui: 21 Desember 2018   17:41 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang menjalani kehidupannya dengan gaya dan kebiasaan yang sama sekali berbeda antara satu orang dengn orang lain. Betul, tidak ada yang sama persis antara satu dengan lainnya. Tanpa disadari, setiap orang membentuknya ataupun terbentuk sendiri menjadi sebuah kebiasaan.

Sesungguhnya, itulah yang disebutkan dengan karakter. Dan karakter itu menjadi sifat dasar yang setiap orang memilikinya. Sehingga kita mengenal berbagai kebiasaan yang terus menerus dilakukan, dijalankan dan dipedomi dalam situasi yang dihadapi. 

Membutuhkan waktu yang panjang untuk membentuk karakter itu. Dan karenanya juga tak muda mengubah karakter dalam waktu singkat.

Perlu sikap yang benar dan kemampuan yang kuat untuk mengelola karakter itu, baik oleh lembaga, isntitusi pendidikan atau pemberdayaan, formal maupun nonformal, maupun oleh diri sendiri agar sesuai dengan syarat yang dibutuhkan untuk sebuah hidup yang lebih baik.

Bersama teman-teman sebaya golongan senior, diatas 60 tahun, saya dianggap "sok ilmiah" jika membicarakan kasus-kasus yang sedang "trendy" saya hubungkan dengan ilmu manajemen yang sejak saya bekerja di perusahaan Multi National Company mendapat pelatihan dan dikirim ke berbagai seminar maupun workshop di tahun 70-an. 

Kemudian sambil bekerja mendalami ilmu manajemen administrasi niaga, kerennya "Business Administration", dan menyelesaikan strata dua dalam bidang illmu komunikasi, semua ilmu tersebut berbasis manajemen.

Teman-teman sering memperolok saya: "Tidak perlu sok ilmiah, yang penting punya karakter !" Tentu saja saya tidak setuju karena ilmu pengetahuan sangat diperlukan untuk menjadi "orang sukses".

Seperti sejak sekolah menengah diperkenalkan dengan ilmuwan yang menemukan teori relativitas, Albert Enstein. Ternyata setelah "senior" mendapatkan template dari Mbah Google bahwa Enstein-pun lebih mementingkan "nilai hidup" dari pada mendapatkan sukses atas pengembangan ilmunya. Apa sebenarnya "value", nilai hidup itu?

Saya kagum pada mereka yang menemukan berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Saya kagum pada ketekunan mereka mengadakan percobaan-percobaan, waktu itu belum mengenal kata "penilitian", dan mengerti bahwa mereka tekun berdisiplin. Kata "disiplin" saya kenal di sekolah rakyat, namanya dulu SR yang kemudian disebut SD.

Disiplin tepat waktu masuk sekolah, tiap pagi pukul 07.00 lonceng sekolah berbunyi dan murid-murid berbaris dengan rapi memasuki kelas, duduk dengan lengan terlipat diatas bangku dilanjukan berdoa bersama dipimpin guru.

Pada waktu saya sekolah SD  atau SMP itu pada hari Senin pagi dimulai dengan Pelajaran Agama dan saya ingat betul pada Sabtu siang guru akan membacakan kisah sastra, yang seluruh kelas mengikuti dengan diam dan penuh perhatian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun