Hari itu aku mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan 30 km per jam. Maklum sore itu aku sangat capek setelah memberikan pelatihan pada teman-temanku. Mataku mencoba menyapu sepanjang jalan menuju ke perempatan istimewa yang pernah memberi kesan mendalam di dalam perjalanan pulangku setelah bekerja penuh di sekolah.Â
Pemandangan masih sama, ada umbul-umbul yang berdiri menghiasi jalan-jalan. Lampu-lampu hias yang kemarin dipasang untuk menyambut hari ulang tahun kota dan hari ulang tahun republik Indonesia masih juga bergelantungan di beberapa tempat. Daun-daun kering berguguran bertebaran diberbagai area disepanjang jalan.
Tanpa terasa aku sudah sampai pada perempatan istimewa, dimana saya sering mendapati seorang kakek penjual benda tajam seperti pisau, arit dan lain-lain. Hari itu sama dengan hari-hari kemarin, kakek itu tidak ada di sana. Ada apa kek, dimana engkau sekarang? Sehatkah? Sakitkah atau engkau sudah pergi untuk selamanya? Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk dalam benaku.
"Aku ini sudah 125 tahun. Sama dengan usia presiden RI pertama, Sukarno." kata kakek semangat.
"Tahukah kamu, apa kuncinya hidup?" tanya kakek sambil menatap  penuh percaya diri. Aku menggeleng.
"Ojo nglarani liyan (jangan menyakiti orang lain." pesanya.
Tiba-tiba kakek menatapku dalam, kemudian berkata,
"Apakah kamu mau saya beri ilmu supaya berumur panjang?"
" Terima kasih, saya hanya pingin hidup yang berkualitas, kek. Hidup tidak harus berumur panjang, namun kualitas hidup harus super." jawabku sambil menatap matanya yang terlihat capek.
Suara bel dari belakang membuyarkan lamunanku. Secepatnya aku menjalankan motorku menerobos sepanjang jalan menuju rumahku. Kakek tua itu tak lagi kutemui, entah kemana dia pergi. Masihkah dia berada disini?