Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Hal Menarik di Balik Kejayaan Tim Thomas 2021

19 Oktober 2021   12:37 Diperbarui: 19 Oktober 2021   12:41 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Duduk Perkara Tanpa Merah Putih di Podium Juara Piala Thomas (kompas.com) 

Setelah menunggu 19 tahun, Indonesia akhirnya mendapat kembali piala Thomas --supremasi tertinggi beregu putra. Juara tahun 2021 ini semakin menahbiskan Indonesia sebagai negara yang paling berjaya di beregu bulutangkis pria dengan 14 kali juara. 

Sementara Tiongkok "baru" 10 kali. Di tengah euporia kemenangan ada beberapa hal yang menarik dari kejayaan Indonesia ini. Beberapa poin kemenarikan behind partai final ini kami rangkum sebagai berikut

Fenomena kalah menang sama Denmark. Saat Indonesia menjadi tuan rumah Thomas Uber tahun 2004, di semifinal dikalahkan Denmark dengan 2-3. Sekarang gentian Denmark menjadi tuan rumah, kalah dengan Indonesia 1-3. Cuman bedanya, Denmark gagal di final tahun 2004. Sementara Indonesia berhasil di final tahun ini. Sama sama melawan Tiongkok di final. Saat tahun 2004 itu dua ganda Indonesia tumbang semua, sedangkan sekarang ganda Denmark kalah semua.

Masih soal versus Denmark. Saat Denmark juara piala Thomas tahun 2016 --mengalahkan Indonesia- saat itu pemain kita masih piyik piyik. Dan masih terpakai sampai sekarang. Ada Ginting dan Jonathan --belum ada 20 tahun usia keduanya. 

Juga Ihsan Maulana Mustofa. Yang senior saat itu adalah Hendra/ Ahsan, kemudian Tommy Sugiarto, dan pasangan Ricky/ Angga. 

Dari Denmark yang masih bertahan sampai saat ini adalah Victor Axelsen, kemudian Hans K.Vittingus (nyaris saja bertemu Shesar Hiren R di semifinal) lalu Kim Astrup dan Rasmussen.

Kembali ke peristiwa Thomas 2004 di Jakarta tersebut. Kekalahan PBSI melawan Denmark tentunya sangat menyesakkan. Terutama bagi para .....calo tiket. Ceritanya para calo senayan salah tebak saat itu. Mereka pikir Indonesia bisa ke final, sehingga tiket mereka borong habis. Ternyata Indonesia kalah sama Denmark 2-3. 

Apesnya lagi (apes bagi para calo) pertandingan final dimundurin mendekati dini hari, mungkin untuk memenuhi selera penonton eropa dan RRC, sehingga mereka melihat partai itu pas prime time. Tahun 2004 tersebut para calo banting harga. 

Tiket mereka jual separoh harga. Dan memang di dalam setadion tidak banyak penonton, hanya pendukung Tiongkok yang menguasai arena. 

Saya merupakan saksi mata pertandingan final antara Tiongkok Denmar. Senangnya melihat live adalah menyaksikan kejadian yang tidak mampu tercover oleh kamera televisi. 

Partai tersengit saat itu adalah tunggal kedua. Saat Bao Cunlai (CHN) mengalahkan Kennet Johansen (DEN) melalui rubber set. Kennet menjadi coach Denmark yang selalu mendampingi tunggal Denmark dengan duduk di kursi belakang. Saat itu saking seru dan lamanya pertandingan, Kenneth Johansen memohon ganti celana sama wasit. Wasit tidak memperbolehkan. Tetapi Kennet J ngotot, dan kemudian berteriak ke arah official tim Denmark untuk melempar celana. 

Peter Gade tanggap, dia lepas celana lalu dilempar ke tengah pertandingan. Kennet menangkapnya, lalu celana lama dicopot dan balik dilempar ke arah peter gade. Jadi kedua pemain yang saling lempar lemparan ini sempat cuman berbekal sempak (swim pack). Kennet kalah 12-15 di set ketiga (poin tertinggi 15, deuce saat 13 sama, atau 14 sama). Tampak Kenneth begitu menyesal, terlihat dia duduk menyendiri di bawah tribun penonton.

Peristiwa ketemu di final dengan Tiongkok. Final Thomas 2020 kali ini adalah yang keenam bagi pertemuan Indonesia versus Tiongkok. Hasilnya selang seling. Tahun 1982 Tiongkok juara dengan mengalahkan Indonesia 5-4. Tahun 1984 Indonesia juara dengan mengalahkan Tiongkok 3-2. Tahun 1986 Tiongkok menang 3-2. Tahun 2000 gantian Indonesia menang 3-0, kemudian tahun 2010 Tiongkok juara kalahkan Indonesia 3-0, sekarang Indonesia menang 3-0. 

Kita lihat polanya. Pada tahun 1982 Tiongkok menang, tahun 1984 Indonesia menang, tahun 1986 Tiongkok yang menang. Kemudian tahun 2000 Indonesia menang, tahun 2010 Tiongkok menang, sekarang Indonesia menang. Kalua pola ini berlanjut, maka final berikutnya, Tiongkok yang juara (dengan catatan: versus Indonesia di final).

Angka 13 --yaitu jumlah piala Thomas yang mampu dikumpulkan Indonesia- seakan menjadi angka sial. Karena harus menunggu 19 tahun. Sebelumnya, masa menunggu paling lama adalah 10 tahun, yaitu saat juara di tahun 1984 (di Kuala Lumpur), baru tahun 1994 mampu menjadi jawara lagi.

Saat Tiongkok juara Thomas tahun 1986, mereka dengan berani memasang Yang Yang sebagai tunggal pertama --menggantikan Han Jian. Asumsinya, Yang yang memiliki record bagus kala melawan tunggal pertama Indonesia --yaitu Icuk Sugiarto. Dan memang kejadian, Yang Yang menang atas Icuk. Tahun ini, Shi Yuqi yang mestinya tunggal pertama --tidak dipasang saat final. 

Tiongkok memasang tunggal keduanya, Lu Guang Zu. Namun nasibnya tidak sama dengan Yang yang tahun 1986. Lu Guang Zu kalah melawan tunggal pertama kita, Antony Sinisuka Ginting.

Terakhir Indonesia juara adalah tahun 2002, saat ini Thomas Cup dihitung tahun 2020 (meski terselenggara tahun 2021). Perhatikan angka tahunnya, yaitu 2002 dan 2020. Kita berharap tahun 2022 thomas bisa dipertahankan. Biar angkanya pas: 2002, 2020, dan 2022. Ada angka dua-nya.

Satu lagi menanggapi berita atau status yang --katakanlah- viral belakangan ini. 

Ada yang menulis (kurang lebih) sebagai berikut, "China hebat ya dengan para pemain muda mampu ke final". Menurut saya ada logical in fallacy dalam pernyataan tersebut. Mosok katanya CHN bisa ke final dengan hanya pemain muda non unggulan. Namun musti dipahami dulu. Pertama dari awal Shi Yuqi dipasang sebagai tunggal pertama. 

Cuman pas final saja kagak main (konon katanya cedera di semi final lawan Momota). Kemudian arti "pemain muda" juga perlu dipertanyakan. Seperti misalnya Lu Guangzu itu usia 25 tahun, bandingkan dengan Antony Ginting yang usia 24 tahun. Seandainya nih ya. Andai China ketemu Denmark di semi final (bukan ketemu Jepang) hasilnya bisa lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun