Tayangan "indonesian idol" 2020 sudah berjalan satu bulan ini. Tapi coba saudara perhatikan, apa bedanya Indonesian Idol sama American idol atau malahan British Got Talent? Sikap jurinya. Menurut saya, juri kita cenderung cengengesan dan banyak bercanda, alias kurang bisa serius. Kebanyakan ndhagel.
Sebenarnya juri atawa orang luar negeri bukannya tidak ketawa ketiwi juga sih ya, tapi mereka lebih banyak seriusnya. Ketika satu orang judge menganalisis, judges lainnya mendengarkan dengan mimic muka serius. Sementara kita cenderung bercanda setiap saat, setiap kontestan pasti dikerjain. Bisa jadi memang itu gaya melayu. Â Saya tdak begitu tahu gaya teve Asean lainnya, tapi pernah lihat sekilas kalau tayangan malaysian idol atau Filipina dan Thailand juga ngabodor deui.
Seingat saya pernah dulu teve indosiar bikin kayak idol gini. Saat itu jurinya Melly goeslaw dan Yovie widianto. Mereka berdua gayanya serius, tanpa senyam senyum, namun kayaknya tak bertahan lama. Bisa jadi terasa hambar.
Kalau awak tarik secara umum gaya ndhagel dan guyon thok orang kita -secara umum- mengindikasikan banyak hal. Kita berada di zona nyaman. Musim hanya mengenal kemarau dan penghujan. Hidup relatif tak terlampau berat (sehingga angka bunuh diri tidak setinggi negara maju --bandingkan ama korea dan jepang).
Dulu pernah era orde baru, TVRI mengadakan angket pemirsa, mempertanyakan apakah acara yang dinanti pemirsa teve seindonesia. Jawaban terbanyak adalah: Lawak. Kemudian suatu saat Didik Nini Thowok (penari asal jogja) menampilkan tari transgender di sebuah kota di luar neger, dengan gaya membanyol. Salah seorang delegasi luar bertanya: Mengapa tarian tersebut dibuat bercanda, di Negara kami hal tersebut adalah perihal amat serius.
Pak didik nini thowok punya jawaban: Di negara kami (Indonesia maksudnya) lebih mudah memasukkan pelajaran dan pemaknaan dengan gaya bercanda. Kurang lebih demikian jawaban mas Didik, di sebuah wawancara televise yang masih saya ingat. Intinya: guyon hehehe. Kalau soal transgender memang kebanyakan soal banyol kalau di negeri ini. Dari mulai para host atau penyiar acara tv yang kebanciabancian menjadi sumber guyon. Bahkan (entah ada hubungannya tidak) srikandi yang di mahabarata versi asli (india) adalah bencong, menjadi perempuan murni di cerita/ babad versi jawa.
Kisah lain. Pernah saat krisis moneter 1999, orang amrik bernama adam Schwarz menulis "a nation in waiting", sebuah Negara dalam penantian. Pertanyaan ke arah mana penantiannya. Apakah diperkirakan NKRI akan seperti negara eks Soviet yang terpecah menjadi 15 negara. Tapi ternyata tidak. Kita --minus TimTim- tetap bersatu. Mungkin salahsatunya gaya cengengesan juga yang menyatukan kita. Buat apa serius serius mikirin bikin Negara baru. Ibarat kate: Pan setelah kemarau datang. nanti musim penghujan juga kan tiba.Â
Nampaknya kita perlu berterimakasih banget kepada bahasa yang satu, Bahasa Indonesia. Para penganut madzhab lokalitas menyebut bahasa yg satu, sebenarnya merupakan "kekerasan budaya". Coba berapa bahasa daerah yang kini hilang karena terdesak oleh bahasa nasional. Namun walaubagaimanapun aspek bahasa ini pula yang menyatukan kita. Termasuk dalam bercanda.
Saya membayangkan kalau almarhum Arwah Setiawan masih hidup, lalu melihat humor gaya sekarang, gimana ya. Mungkin akan dikoreksi statement beliau bahwa "Humor itu serius". Sekarang ini humor itu ya ndhagel, cengengesan, dan mbanyol. Guyon thok, masbor!