Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Hati yang Terluka (Bagian Terakhir)

3 Juni 2020   13:00 Diperbarui: 3 Juni 2020   13:02 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa lagi yang sudah dilakukan padamu?" desaknya bernada lembut untuk mengusir ketakutan yang mungkin hinggap di hati Audrey.

Tangis Audrey pecah. Mulutnya melengkung tak menentu menciptakan isak yang lama dan panjang. Bulir-bulir air mata tumpah di kedua belah pipinya. Tangan Santi terulur membelai rambut gadis kecilnya itu. Sabar menunggu tuntasnya sisa tangis hingga mulut pun mampu bersuara seperti biasa.

"Dia mengancamku, Ma. Kalau aku nggak mau dia memukulku. Aku takut, Ma. Aku sendiri di rumah. Kalau aku teriak nanti tetangga-tetangga pada datang," belanya seperti sudah tahu arah pembicaraan Mama.

"Berkali-kali?" perih hatinya melancarkan interogasi seperti ini  kepada anaknya sendiri.

"Aku takut, Ma. Dia sering mengajak ke warnet dan melakukan lagi. Aku selalu diancam kalau nggak mau."

Napas Santi terengah-engah menahan amarah yang sekuat tenaga dijaga agar tak terlepas. Gadis kecilnya kini duduk dengan wajah pucat berurai air mata. Adakah penyesalan itu tergambar dalam raut mukanya? Santi ragu menemukan bentuk penyesalan ada di sana. Audrey hanya menangis sambil membela diri. Sementara dia tak tahu apakah permata yang berharga itu telah hilang darinya. Santi tak ingin menatapnya lebih lama. Luka itu menggores hatinya semakin dalam dan semakin perih rasanya.

"Aku nggak mau sama dia lagi , Ma," desahnya di sela isakan.

Tubuh Santi lemas seketika. Disandarkan tubuh di kursi makan itu beberapa saat. Pening melanda kepalanya seperti  ada gada berat yang menindihnya.  Terjebak dalam kumparan masalah yang tak berujung pangkal seperti ini membuatnya sesak napas lagi. Menyalahkan diri sendiri tak ada gunanya. Menyalahkan anak-anak itu tak menolongnya terbebas dari kesulitan.

"Ini juga kekerasan ," desisnya dengan mulut kering

Kepada siapa mesti mengadu? Ini aib yang tak sepantasnya diumbar ke mana-mana. Hanya ada Danu , tempat mengadu yang  aman. Dengan berat Santi menghubungi Danu untuk segera datang ke rumahnya. Beberapa bagian kisah sudah dilukiskan lewat penuturannya ketika menelpon.

"Kalau mau kamu bisa buat pengaduan ke polisi tentang kekerasan seksual," saran Danu. " tapi polisi biasanya minta visum dokter. "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun