Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tirai

11 Mei 2020   10:06 Diperbarui: 12 Mei 2020   16:00 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perempuan bercadar. (sumber: pixabay.com/moshypelusha)

Di balik tirai hijau Ani meratapi sepi yang menjeratnya. Waktu berjalan lamban tanpa tujuan. Dinding-dinding bisu menjaganya dari kebisingan. Namun ternyata dinding itu tidak sepenuhnya diam . Suara sepi mengalun dari semua sisi ruangan.

Begitu syahdu menuntun perasaan pada kedamaian. Tanpa desah nafas manusia selain dirinya membuatnya begitu istimewa. Lagu sunyi itu hanya dipersembahkan untuknya. Dia begitu tersanjung oleh harmoni simponi sepi dari dinding ruangannya.

Tiba-tiba saja desauan angin menerobos masuk tirainya entah dari mana asalnya. Dingin menyergapnya sesaat lalu berhenti lama di tengkuknya. Tanpa disadari sepinya telah pecah oleh kehadiran sosok lain yang hanya bisa dirasakan namun tak bisa dijamah.

Debaran-debaran di dadanya semakin kencang ketika sosok itu mencoba berbicara kepadanya dengan bahasa yang tak bisa dipahaminya. Lewat sebuah isyarat sosok itu menuntunnya ke luar dari raganya.

Dia berubah menjadi taburan cahaya yang menebarkan wangi melati. Bersama sosok itu dia terbang melayang mengitari sudut-sudut kota .

Tertegun mendapati Embun bernyanyi bersama teman-temannya yang semuanya laki-laki. Bersandar pada dinding jembatan di sudut kota yang mulai lengang jalannya. Mereka tetawa lepas setiap selesai satu lagu.

Syair lagu-lagu itu menyuarakan perlawanan kepada kemapanan. Mereka bersemangat menyanyikannya seperti menumpahkan kekesalan yang menumpuk di dada.

Sosok itu menggamit lengannya. Ingin mengajak pulang tetapi Ani memohon agar diijinkan melihat apa saja yang dilakukan Embun sepanjang malam. Permintaannya dipenuhi. Ani harap-harap cemas menantikan drama kehidupan di hadapannya.

"Dari pada kita menyanyi nggak jelas bagaimana kalau ngamen saja di alun-alun," usul Embun membuat teman-temannya menghentikan nyanyiannya.

Mereka berboncengan sepeda motor meluncur ke alun-alun kota. Rimbunnya pohon beringin menjadi penanda masa silam yang rela berbagi lahan dengan kehidupan masa kini. Warung tenda berjajar di seberang alun-alun. Para pedagang berharap rejeki dibagi merata sepanjang waktu di sepanjang lahan tempat mereka berjualan. 

Aroma makanan malam seperti nasi goreng, bakmi, roti bakar dan minuman tradisional seperti wedang ronde, wedang uwuh, dan bajigur menggoda selera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun