Mohon tunggu...
Yulis Lutvihana
Yulis Lutvihana Mohon Tunggu... A dreaming being

𝙑𝙞𝙫𝙖𝙢𝙪𝙨, 𝙢𝙤𝙧𝙞𝙚𝙣𝙙𝙪𝙢 𝙚𝙨𝙩 - let us live, for we must die -

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Soekarno Vs Soeharto, Bagaimana Jika Keduanya Menangani Pandemi Covid-19?

29 April 2021   12:36 Diperbarui: 29 April 2021   14:02 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno dan Soeharto (Sumber: http://swararakyat208.files.wordpress.com/)

Gaya kepemimpinan seorang presiden dalam setiap periodenya besar kemungkinan berbeda satu sama lain. Hal tersebut dapat terjadi pada setiap pergantian presiden secara umum, tidak hanya di Indonesia. Perbedaan gaya kepemimpinan seseorang yang paling berpengaruh dalam sebuah negara, tentunya akan memengaruhi keseluruhan arah kebijakan negara tersebut, baik itu kebijakan domestik maupun luar negeri. Sepanjang sejarah kepresidenan Indonesia, Soekarno dan Soeharto adalah dua presiden yang memiliki perbedaan gaya kepemimpinan paling mencolok. Hampir setiap arah kebijakan dan diplomasi yang dijalankan oleh Soeharto, tak lain adalah antitesis dari apa yang telah dilakukan pendahulunya, Soekarno.

Dengan merujuk pada buku yang ditulis oleh Agus Haryanto dan Isman Pasha yang bertajuk "Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek," presiden pertama kita, Ir. Soekarno, memiliki kecenderungan gaya diplomasi yang bersifat "high-profile." Artinya, Soekarno lebih suka untuk bergaul -- menjalin hubungan sahabat -- dengan para pemimpin negara-negara yang mempunyai pengaruh besar. Hal ini tentunya didorong oleh kondisi Indonesia saat itu sebagai negara yang baru saja merdeka, sehingga membutuhkan pengakuan internasional. Soekarno sering kali mengadakan kunjungan ke luar negeri dengan maksud untuk mengenalkan rupa Indonesia ke dunia internasional. Sebagaimana salah satu kutipan pidatonya, "...Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin dunia tahu, bagaimana rupa orang Indonesia dan melihat bahwa kami bukan lagi bangsa pandir seperti orang Belanda berulang-ulang menyebut kami...." Diplomasi yang luwes dan dibarengi dengan prinsip humanisme yang dijalankan Soekarno, membuatnya disambut baik oleh pemimpin negara-negara lain.

Oleh karena prioritasnya untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional, Soekarno cenderung tidak menaruh minat untuk mendirikan organisasi dalam lingkup regional (Asia Tenggara). Alih-alih, lebih memilih menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) dan Gerakan Non-Blok -- menjadi warisan penting dari diplomasi Soekarno hingga saat ini. Meskipun menjalankan gaya diplomasi yang high-profile dengan karakter karismatik dan tegas, manajemen finansial dan ekonomi era Soekarno terbilang buruk. Ia tak segan menggunakan anggaran negara untuk pengeluaran non-pembangunan. Soekarno sangat berambisi membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar dan bermartabat, tanpa mengimbanginya dengan manajemen ekonomi yang mumpuni.

Bertolak belakang dengan Soekarno, gaya diplomasi Soeharto cenderung bersifat "low-profile." Dalam artian, kebijakan era pemerintahan Soeharto lebih memprioritaskan pembangunan dalam negeri, khususnya ekonomi -- karena memang situasi kala itu dihadapkan dengan tantangan pembangunan yang buruk. Begitu berbeda dengan yang dilakukan Soekarno, Soeharto sama sekali tidak memiliki persoalan pengakuan internasional. Dengan demikian, prioritas diplomasi Indonesia di bawah Soeharto adalah untuk menjalin hubungan baik melalui kerja sama dengan dunia internasional. Dimulai dengan menormalisasi hubungan dengan Malaysia -- yang sempat terputus karena adanya konfrontasi -- hingga Indonesia kembali menjadi anggota PBB, serta mendirikan organisasi taraf regional Asia Tenggara, yakni ASEAN yang masih menjadi salah satu organisasi terpenting bagi Indonesia hingga saat ini.

Ekonomi menjadi aspek yang lebih diprioritaskan daripada politik. Dua diplomasi utamanya adalah diplomasi pembangunan dan bantuan, yang ditempuh dengan tiga cara 1) penjadwalan kembali utang luar negeri; 2) bantuan pembangunan IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia); 3) penanaman modal asing. Dalam mewujudkan prioritas pembangunan ekonomi, Soeharto mendatangi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dunia, seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, serta Jepang.

Lalu, bagaimana jika Soekarno maupun Soeharto memimpin Indonesia saat ini dan menangani pandemi COVID-19?

Ketika kasus pandemi COVID-19 belum menimpa Indonesia, Soekarno bisa saja menganggap enteng pandemi ini -- sama seperti ketika ia merespons peristiwa G30S. Bagaimana ia merespons pandemi sebelum muncul di Indonesia, dimungkinkan akan sama seperti respons pemerintahan kita saat ini. Soekarno adalah sosok yang penuh percaya diri akan dirinya dan bangsanya, sehingga mungkin saja ia menganggap mampu memegang kendali. Ketika situasi berubah -- pandemi sedikit demi sedikit mulai merambah kehidupan Indonesia -- respons Soekarno pun berubah, dengan tegas dan sigap berusaha untuk mencegah penyebaran pandemi. Berbagai penerbangan yang berasal dari negara-negara kasus pandemi terbesar ditutup, tak terkecuali Tiongkok -- sebagai pusat awal penyebaran virus. Melalui pidatonya yang lantang dan untaian setiap katanya yang seolah bernyawa, mampu menarik hati rakyat untuk tetap satu misi dengannya.

Sebagai pemimpin revolusioner, Soekarno ingin Indonesia menjadi bangsa yang tetap mandiri dalam kondisi dan situasi apa pun. Dalam konteks ini, ia berkukuh untuk tidak menerima bantuan dari pihak luar negeri mana pun, alih-alih memaksimalkan segala potensi sumber daya yang dimiliki bangsanya. Indonesia di bawah Soekarno akan mengupayakan produksi vaksin dan alat-alat medis lainnya dengan memanfaatkan segala kemampuan yang dimiliki bangsa sendiri. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia sebagai bangsa yang besar, dengan kemandiriannya mampu menangani merebaknya pandemi COVID-19. Namun, skenario terburuk mungkin saja terjadi, ketika pada akhirnya ekonomi nasional makin terpuruk. Hal ini tidak jauh dari kebijakan Soekarno yang enggan mengandalkan bantuan luar negeri dan hanya mengandalkan sumber daya nasional. Untuk mengatasinya, Soekarno akan makin menghidupkan forum KAA maupun GNB secara maksimal sebagai upaya bersama menangani pandemi dalam berbagai aspek.

Soeharto, sebagai seorang pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas serta mahir dalam menyusun strategi kebijakan, kemungkinan akan merespons pandemi dengan tanggap jauh sebelum masuk ke Indonesia. Bahkan, sangat dimungkinkan untuk disusun beberapa strategi kebijakan atau program penanganan pandemi, terutama yang terkait dengan perekonomian nasional, mengingat pandemi mungkin tidak hanya berakhir satu tahun. Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan semasa pemerintahannya dulu, gaya kepemimpinan yang low-profile dengan fokus kebijakan pada pembangunan nasional.

Selain memanfaatkan berbagai potensi sumber daya dalam negeri, Soeharto tak segan untuk mencari bantuan-bantuan internasional, seperti utang luar negeri maupun investasi asing, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri semasa pandemi. Dengan demikian, diplomasi pembangunan dan bantuan besar kemungkinan masih menjadi dua prioritas utama kebijakan Soeharto. Selain itu, politik bebas-aktif akan terimplementasi dengan baik, upaya kerja sama dalam menangani pandemi tidak hanya dilakukan dengan negara-negara Barat, melainkan negara-negara Timur. ASEAN -- sebagai warisan diplomasinya -- akan memegang posisi penting kebijakan Soeharto dalam menangani pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun