Mohon tunggu...
Julyna Batubara
Julyna Batubara Mohon Tunggu... Mahasiswa

pelajar aktif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Tradisi Meti Kei dari Pulau Kei, Maluku

29 Juni 2021   20:16 Diperbarui: 29 Juni 2021   20:47 1770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Julyna Batubara

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Negara kita ini dikenal dengan semboyannya yaitu Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu. Semboyan ini diangkat sebagai suatu pertanda walaupun negara Indonesia memiliki banyak perbedaan namun akan tetap satu dalam nama bangsa Indonesia. Perbedaan yang dimaksud dimulai dari suku bangsa, bahasa, budaya, ras dan sebagainya yang nantinya akan menjadi kearifan lokal dari setiap daerah asalnya. Salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia yaitu Tradisi Meti Kei dari Pulau Kei, Maluku yang sudah menjadi budaya turun temurun dari nenek moyang kita. Dalam esai ini, akan dikenalkan lebih mendalam mengenai tradisi ini secara tuntas. 

Sejarah Tradisi Meti Kei

sumber : terasmaluku.com

Tradisi Meti Kei saat ini merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang terdahulu di Pulau Kei sendiri. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana tradisi ini pertama kali berkembang dan dijadikan salah satu budaya atau tradisi bagi masyarakat Kei. Meti sendiri berasal dari bahasa Kei yang artinya "kering kerontang" atau surut, dan Kei adalah nama daerah tempat asal tradisi ini. 

Oleh karena itu secara keseluruhan Meti Kei adalah kegiatan memancing atau menangkap ikan yang dilakukan saat air laut surut dan biasanya dilakukan di bulan Oktober. Tradisi ini sendiri muncul karena fenomena unik yang terjadi saat air laut surut di bulan Oktober ini, karena saat itu air laut surut menjauhi daratan hingga ratusan meter sangat berbeda jauh dengan normalnya yang hanya puluhan meter saja.

Ketika air surut hingga ratusan meter, tak jarang laut yang memisahkan dengan daerah terpisah berubah menjadi daratan sehingga banyak masyarakat yang saling mengunjungi daerah yang lain, para anak-anak akan bermain di sana sedangkan para orangtua akan pergi menangkap ikan bersama penduduk lainnya. Disaat yang bersamaan, cuaca di bulan tersebut adalah saat yang sangat pas untuk bercocok tanam karena keadaaan laut yang tenang, udara yang segar, dan juga sinar terik matahari tentunya sangat cocok untuk melakukan kegiatan cocok tanam yang sebelumnya didahului dengan membakar lahan. 

 Tradisi ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh masyarakat Kei terhitung 23 tahun yang lalu di bulan Oktober, namun baru dikenalkan secara nasional pada Tahun 2016 melalui Festival Kei yang dilakukan di salah satu pantai terbesar di Kei. Semakin dikenalnya tradisi ini secara nasional, masyarakat juga semakin antusias dalam menyambut tradisi ini setiap tahunnya yang mana melalui tingginya antusiasme masyarakat dapat membantu mengangkat kembali tradisi ini dan semakin memperbaikinya tiap tahun sehingga dapat dijadikan salah satu ikon nasional negara tentunya.  

Tradisi Meti Kei

Untuk tradisinya sendiri tentunya terdapat beberapa tahapan dan juga rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Tradisi Meti Kei diawali dengan mempersiapkan sesajen yang wajib dilakukan oleh orang Kei untuk menyambut peristiwa Meti Kei dan juga sebagai awal mula dalam kegiatan bercocok tanam pada bulan Oktober. Dalam sesajen ini, orang Kei biasanya memasukkan sirih, uang koin, pinang dan sebagainya kedalamnya dan akan diletakkan dalam piring atau wadah polos atau yang berwarna putih. 

Setelah selesai mempersiapkan sesajen, tahapan yang kedua yang dilakukan adalah mencari tali ke hutan. Tali ini nantinya akan digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan. Masyarakat Kei percaya bahwa proses pencarian tali tersebut ke hutan merupakan salah satu bentuk perwujudan dari kepercayaan mereka terhadap Tuhan dan leluhur. 

Tahapan selanjutnya setelah sesajen dan tali terkumpul adalah kegiatan doa bersama yang dilakukan oleh seluruh penduduk pulau Kei yang dipimpin oleh tokoh maupun pemuka agama di masing-masing kampung di Kei. Setelah acara doa selesai, sesajen yang digunakan untuk acara doa akan diletakkan di ventilasi-ventilasi rumah atau dibuatkan tempat khusus untuk meletakkannya. Setelah semua siap, penduduk Kei akan berbondong-bondong turun ke laut sambil membawa wer warat yaitu alat penangkap ikan berupa rotan yang sudah terlilitkan janur kuning kelapa yang menyerupai jaring. Penduduk akan beramai-ramai memegang sisi lain dari jaring ini kemudian sama-sama menarik ke daratan, kegiatan ini disebut juga dengan tradisi wer warat atau tarik tali. Selain rotan berbentuk jaring, ada pula perlengkapan khusus yang dibawa oleh setiap penduduk. 

Untuk kaum bapak terdapat alat yang disebut "kalawai" yaitu alat khusus untuk menangkap ikan yang terbuat dari besi dengan dua mata yang tajam serta bergerigi. Sedangkan untuk kaum ibu akan menggunakan alat yang disebut "sero" yaitu alat khusus yang dianyam dari bulu untuk menangkap ikan yang terdampar di pasir-pasir bekas lautan yang surut. Kemudian tahapan terakhir yaitu mengumpulkan dan membagikan hasil tangkapan kepada seluruh penduduk Kei yang turut ambil bagian dalam tradisi ini. Biasanya tiap tahun, jumlah tangkapan masyarakat sekitar dalam tradisi ini selalu melimpah dan lebih dari cukup untuk dibagikan kepada masyarakat. hal ini membuktikan masih sehat dan bersihnya lautan di Pulau Kei ini sendiri. 

Kaitan Tradisi Meti Kei dengan Pancasila 

Sebagai warga negara Indonesia, tentunya sudah tidak asing lagi dengan kata Pancasila. Negara Indonesia menjadikan pancasila sebagai dasar negara yang mana terdapat 5 sila di dalamnya dengan nilai-nilai yang berbeda diantara kelima poin itu tersebut seperti ketuhanan, gotong royong, keadilan, persatuan dan kesatuan, musyawarah mufakat dan sebagainya. Jika kita mengkaji lagi mengenai tata cara dan  proses yang terdapat dalam tradisi Meti Kei, dapat kita lihat adanya beberapa perwujudan nilai pancasila yang terdapat didalamnya. 

Yang pertama adalah dari sila pertama Pancasila yaitu "Ketuhanan yang Maha Esa". Hal ini terlihat dari kegiatan mempersiapkan sesajen dan juga pencarian tali yang digunakan untuk keperluan doa bersama oleh seluruh penduduk Kei. Kegiatan doa bersama ini juga wajib dilakukan oleh penduduk Kei sebelum turun ke laut dan sebelum memulai kegiatan bercocok tanam sebagai simbol meminta berkat dan juga kelancaran kegiatan dalam pelaksanaan tradisi ini dan juga terlaksananya kegiatan bercocok tanam dengan baik serta terhindar dari permasalahan bagi penduduk Kei maupun kegiatan itu sendiri. Doa bersama ini juga dijadikan sebagai pembuka kegiatan tradisi Meti Kei itu sendiri sehingga merupakan wujud dari pengimplementasian dari Sila Pertama Pancasila. 

Yang kedua yaitu dari sila kedua Pancasila yang berbunyi "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" yang mana semua penduduk secara menyeluruh tanpa dibeda-bedakan baik anak-anak maupun dewasa hingga lanjut usia diberikan hak yang sama untuk dapat bergabung dalam tradisi Meti Kei ini. Sebagaimana sila kedua mengajarkan kita untuk tidak melakukan praktik diskriminasi maupun memperlakukan orang lain secara tidak adil, Tradisi Metri Kei ini secara tersirat mengajarkan hal yang sama kepada kita secara keseluruhan.

Yang terakhir yaitu tradisi Meti Kei ini juga memiliki hubungan dengan sila ketiga Pancasila yaitu "Persatuan Indonesia" yang mana terdapat nilai nasionalisme dalam penjabaran sila ketiga pancasila ini. Itulah nilai yang juga terdapat dalam Tradisi Meti Kei ini, yang mana pada tahun 2016 tradisi ini berhasil diangkat menjadi event nasional Indonesia. Hal ini menjadikan masyarakat di Pulau kei semakin antusias dan juga bangga dengan budaya dari daerah mereka ini, dan hal ini tentunya menunjukkan kecintaan Orang Kei terhadap tanah airnya terutama daerahnya tentunya. Antusiasme masyarakat juga terlihat setiap tahun saat akan mendekati bulan Oktober yang merupakan bulan saat Tradisi  ini dilakukan, dengan mulai mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk tradisi ini dan hal-hal lainnya yang dibutuhkan tentunya untuk pelaksanaan tradisi ini. 

Tradisi Meti Kei pada Era Globalisasi

Derasnya perkembangan globalisasi yang dihadapi di seluruh belahan dunia tentunya memunculkan adanya perubahan tatanan kehidupan secara perlahan dari segala aspek baik ekonomi, budaya, sosial, teknologi dan sebagainya.Kemunculan faktor globalisasi ini sering kali mengakibatkan adanya pembaruan, perubahan dan tak jarang hilangnya suatu tatanan masyarakat salah satunya dalam aspek budaya dan tradisi. 

Perubahan iklim dan juga global warming saat ini juga turut berpengaruh dalam kebiasaan yang terdapat di Meti Kei. Jika berkaca pada keadaan dan kondisi 25 tahun lalu, pasang surut dapat terjadi hingga 9 kali pada bulan Oktober sehingga kegiatan pelaksanaan Meti Kei tentunya terjamin untuk dilaksanakan. Namun adanya globalisasi saat ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap pasang surut air laut. Jika biasanya masyarakat mulai mempersiapkan segala kebutuhan sambil menyambut bulan Oktober datang, saat ini bahkan sulit untuk dapat melaksanakan Meti Kei sesuai pada waktu dan musimnya. Beberapa tahun belakangan ini, jika sudah mulai mendekat ke musim Meti Kei cuaca seakan berubah dan tidak ada surut pada bulan ini. Tak jarang masyarakat Kei melewati bulan Oktober tanpa adanya pelaksanaan Meti Kei ini. Peristiwa air laut surut sudah jarang terjadi di bulan Oktober, sudah beralih ke bulan Desember bahkan awal tahun di bulan Januari. 

Selain dari faktor iklim yang telah disebutkan diatas, perubahan yang juga terjadi yaitu dari kebiasaan masyarakat Kei itu sendiri. Jika di zaman dulu masyarakat baik laki-laki maupun perempuan menyambut tradisi ini dengan mengenakan pakaian adat yang merupakan simbol kebesaran dan kejayaan Orang Kei, kini dengan berubahnya pandangan setiap orang terhadap cara berpakaian sudah mulai hanya menggunakan pakaian bebas saja saat tradisi ini dilangsungkan. Tersisa segelintir orang saja yang tetap memakai pakaian adat saat tradisi ini dilangsungkan. Melihat hal ini, pemerintah dapat membantu menaikkan kembali kebiasaan yang telah hilang dengan menggiatkan beberapa kegiatan untuk meningkatkan antusiasme masyarakat terhadap budaya serta tradisi sebagaimana dulunya untuk menjaga keaslian dan ciri khas dari tradisi itu sendiri. 

Kesimpulan

Indonesia merupakan negara pluralisme yang terdiri dari berbagai keanekaragaman budaya dan tradisi. Kearifan lokal yang kita punya merupakan warisan bangsa yang menjadi ciri khas dari bangsa kita yang diwariskan oleh leluhur bangsa dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menjaga kearifan lokal tersebut, dimulai dari diri sendiri dan juga melalui media seperti campaign kearifan lokal, video kreatif, webinar dan lain-lain. Dengan menggiatkan kegiatan ini, semoga masyarakat semakin mengenal bangsanya sendiri dan mampu mengambil langkah berani untuk ikut melestarikan dan  menjaga keunikan dan ciri khas negara kita sebagai negara dengan kekayaan budaya dan alam yang melimpah.

Saran 

Sebagai generasi muda, kita harus mampu sebagai penggerak utama dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya kita terhadap dunia internasional dengan berbagai karya dan juga pertunjukan yang tetap menjaga keaslian dan ciri khas tradisi dan budaya negara kita sendiri. Kita juga harus mampu membantu menyuarakan serta mendukung Dinas Pariwisata dalam mempromosikan serta memberikan perhatian lebih terhadap kesenian yang ada di negara kita dari setiap daerah yang berbeda. 

Referensi

Kumparan.com ( 2019, Desember 17 ). Mengenal Meti Kei, Fenomena Laut Surut yang Unik dan Memukau di Maluku. Diakses pada tanggal 24 Juni 2021, dari 

https://kumparan.com/kumparantravel/mengenal-meti-Kei-fenomena-laut-surut-yang-unik-dan-memukau-di-maluku-1sSd2ywLMQ6. 

Oleh : Julyna Batubara (Accounting 2A -13202010041-Universitas Prasetiya Mulya )

Dengan bimbingan Dr. Naupal S.S, M. Hum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun