Biasalah, malu bertanya karena takut dianggap bodoh oleh teman yang lain. Apalagi teman saya banyak yang les di luar. Materi yang diterangkan di sekolah biasanya mereka lebih dahulu paham. Sehingga saya dan beberapa teman yang kurang paham pura-pura paham karena gengsi. Duh...
Karena malas bertanya, seiring berjalannya waktu di kelas dua rasa cinta saya pada kimia pun memudar. Kimia benar-benar terasa sulit saat itu.Â
Tapi di awal kelas tiga ada sebuah kejadian penting yang mengubah perasaan saya pada kimia.Â
Saya mempunyai seorang teman sebutlah namanya Dani. Ia sangat pendiam dan jago kimia.Â
Bayangkan, ulangan kimia saja rata-rata perolehan nilai kami hanya 70 atau 80, sedangkan Dani tidak pernah lepas dari nilai 100.Â
Dani adalah narasumber bagi kami jika kami mengalami kesulitan. Ia selalu menerangkan dengan jelas, seolah tidak ada materi yang tidak dipahaminya.
Selidik punya selidik ternyata kakak Dani kuliah di jurusan kimia. Tentunya Dani banyak diajari oleh kakaknya di samping karena memang otaknya sangat encer, begitu dugaan kami.
Nah, suatu saat Dani mendapat tugas mewakili sekolah mengikuti lomba kimia di IKIP Malang. Oleh guru kimia, Dani diminta mencari teman pendamping, karena akan ada tiga orang dari setiap regu yang akan dikirim.
Dani segera memilih pendamping. Satu orang teman laki-laki dan ternyata satunya adalah saya.
Saya benar-benar surprise, padahal kemampuan kimia saya sangat tidak meyakinkan. Sungguh, saya takut sekali saat itu.
Guru kimia langsung setuju dengan pilihan Dani dan pulang sekolah oleh Dani saya langsung dipinjami dua diktat kimia milik kakaknya.