Saya sudah mengajarkan hal tersebut juga berulang kali, tapi nyatanya beliau masih belum kunjung memahami ceritanya, meskipun sudah berhasil seringkali tulisan yang ada di status WA miliknya susah untuk dipahami orang lain, ini karena ibu saya salah mengetik (typo), papan ketik yang ada di smartphone yang bermodel qwerty ini masih terlalu sukar dibanding papan ketik yang ada di handphone terdahulu.
Tak lama setelah saya periksa, saya menyadari jika masa aktif paket internetnya telah habis, lantas saya teatering kan handphone beliau dengan handphone saya sehingga bisa kembali terhubung dengan internet.
“Anak Lanangku Kok Pinter Banget”
Puji ibu kepada saya, saya hanya tersenyum, saya biarkan saja beliau menganggap jika selain kuliah di jurusan Teknik Kimia, anak laki-lakinya ini juga seorang ahli dalam bidang teknologi.
Orangtua = Gaptek?
Tidak semua orangtua itu gaptek. Saya pernah menemui beberapa orangtua yang seumuran dengan orangtua saya, atau bahkan lebih tua, tapi mampu mengoperasikan smartphone dengan baik.
Orang tua seperti ibu saya yang sudah berumur di atas 50 tahun saat ini, pastinya di masa mudanya dulu tidak pernah merasakan rasanya berbalas pesan dengan cepat dengan WA, tidak bisa pula bertatap muka dengan orang yang berada jauh di sana dengan menggunakan video call.
Dalam kasus ibu saya, beliau masih dalam level “mending”, karena pada akhirnya mau untuk belajar mengenai perkembangan teknologi saat ini. Ada tingkatan yang lebih parah lagi yaitu jika sudah “takut” akan perubahan teknologi.
Orang yang sudah takut dengan perkembangan teknologi tidak akan lagi mau menggunakan teknologi yang sudah berkembang saat ini.
Penutup
Teknologi sejatinya digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia, apa jadinya jika kita malah tidak mau atau bahkan takut dengan teknologi yang ada.