Mohon tunggu...
Yudi Purwanto
Yudi Purwanto Mohon Tunggu... -

SIMPLE

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Legetang : Stigmatisasi LGBT & Propaganda Politik 1955

16 Juli 2017   16:05 Diperbarui: 16 Juli 2017   16:14 6149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

17 April 1955

Malam itu hujan lebat, teramat lebat di sebuah dukuh kecil di daerah Batur, Dieng. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti benda besar jatuh hingga terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Legetang rata dengan tanah, Gunung Pengamun-amun terbelah rompal menjatuhinya dan mengubur 351 manusia di dalamnya.

Legetang, legenda desa maksiat yang hilang diazab. Begitulah kira-kira cerita dari berbagai mulut manusia yang berusaha menjadi Tuhan bagi lainnya. Masyarakatnya suka berjudi, lenggeran sampai malam hari, keblinger sampai berhubungan badan dengan sejenisnya. Jika bukan azab, sebutan apa untuk musibah bagi Kaum Sodom Gomorah yang berperilaku seperti kaumnya Nabi Luth di Dukuh Legetang ini. Hingga lebih dari enam dekade, tak ada sumber pasti penyebab runtuhnya Gunung Pengamun-amun ke Lembah Legetang. Dari semua cerita, yang tersisa hanyalah tugu peringatan dan stigma : Legetang, desa yang hilang karena praktek homoseksualitas.

Sesederhana itukah ?

***

Masyarakat Legetang sebagian besar adalah petani, mereka bercocok tanam di kebun seiring dengan suburnya kawasan Lembah Dieng. Seperti kebanyakan masyarakat agraris di Indonesia, kepercayaan antara manusia dan alam menjadi satu ikatan penting. Hubungan antara petani dan alam terjalin dalam sebuah produk kebudayaan, salah satunya tarian. Legetang, desa yang makmur ini dulunya tetap melestarikan ronggeng atau lengger. Tarian lengger tidak apat dipisahkan dari keyakinan bahwa lengger adalah bentuk rasa syukur terhadap hasil panen sekaligus penghormatan kepada Dewi Sri. Para lelaki menari tayub, mengiringi seorang lengger yang menari dan nembang dengan sensual. Gerakan tariannya sering berbau erotis dan jauh dari kesan kelemahlembutan seperti tarian Jawa wetanan.Konon, gerakan-gerakan tersebut dipercaya mempengaruhi kekuatan dan kesuburan (Spiller, 2010 : 84).

Lengger berasal dari kata leng yang artinya lubang (wanita) dan jengger yang artinya terjulur (pria) dengan kata lain lengger ditarikan oleh pria dengan berpakaian wanita begitu pula dengan riasan dan gerakannya. Dalam Bausastra Jawa-Indonesia (S. Prawiroatmojo) yang diterbitkan Tahun 1957 disebutkan bahwa asal muasal lengger justru memang ditarikan oleh penari pria bukan oleh para penari wanita seperti sekarang ini. Walaupun demikian komunitas kecil lengger lanang di Banyumas masih tetap ada.

"Erotika tidak perlu belajar dari Barat,karena sudah mengakar ada di Nusantara. Erotika di masyarakat Indonesia, ibarat bahan pangan seperti beras,gula atau garam yang dimport dari Barat,padahal sudah ada berabad-abad di Indonesia. Bahkan sebelum kolonial dan agama-agama "import" datang ke bumi Nusantara."Elizabeth D Inandak, seorang penyair asal Perancis yang menerjemahkan dan menafsirkan kembali Serat Centhini memberikan pernyataan atas sejarah homoseksualitas di Indonesia. Sejarah lengger ini bisa dijadikan acuan bahwa ternyata homoseksualitas sudah ada sejak jaman dahulu, bahkan sebelum para penjajah datang. Eksistensi LGBT di Banyumas tercatat di Zaman Mangkunegaran VII pada Serat Centhini jilid 5 yang masyhur dan dijadikan referensi sebagai kitab kamasutra Jawa. Dalam beberapa tembangnya, Serat Centhini juga menggambarkan kisah cinta yang vulgar antara penari lengger Nurwitri, Mascebolang dan Adipati Wirasaba.

"Kiai Adipati hatinya sungguh-sungguh hanyut oleh Nurwitri, penari laki-laki. Ki Adipati sedikit mabuk brem, tape dan tua. Ia mabuk bercampur asmara. Nurwitrilah yang menjadi sasaran asmaranya. Baru kali inilah ia berkehendak yang janggal. Nurwitri dibawa pulang ke rumah tembok bagian belakang. Kiai adipati berkata, "Nurwitri majulah sedikit, saya akan tidur karena itu selimutilah dan bersenandunglah. Nurwitri menjawab, ya, sambil mengerling dan mengatupkan bibirnya. Kiai Adipati segera memeluk leher Nurwitri. Ia gemas maka Nurwitri dicubit kemudian bibir dan pipinya dihisap dan dicium. ...tingkahnya tidak berbeda dengan menghadapi wanita".

Barulah sekitar abad ke-18, timbul berbagai perubahan besar dalam struktur sosial budaya di nusantara yang diakibatkan oleh meningkatnya arus perniagaan, pembentukan negara yang terkonsolidasi, dan juga berkembangnya pengaruh agama-agama seperti Islam, Kristen maupun ajaran Konfusianisme yang cenderung berorientasi menempatkan posisi laki-laki di atas dan mengabaikan peran perempuan (dan transgender). Perubahan sosial budaya ini menjadi semacam alat kendali masyarakat sekaligus pembatasan legitimasi peremuan (dan transgender). Praktek dan simbol seksualitas dianggap tabu, primitif serta bentuk ketidakberadaban atas kearifan penduduk lokal.

Lengger mewakili dualisme kekeramatan. Di satu sisi lengger dianggap melambangakan sisi kesucian dan kemagisan, di sisi lain lengger dianggap sebagai aktivitas pemenuh hasrat seksual. Pada tahun 1955, dualisme lengger ini lah yang menjadi tarik menarik dua kutub ideologi berbeda yang sedang bertarung demi memenangkan Pemilu 1955. Mengapa demikian ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun