Bismillahirrahmanirrahim.
Baru-baru ini ada sebuah berita yang sedang hangat. Bukan, bukan soal memutar musik di tempat usaha komersial harus bayar royalti. Tetapi tentang sebuah video game yang dilarang oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, yaitu Abdul Mu'ti. Saya bicara tentang Roblox.
Bagi Anda yang suka bermain video game di ponsel, pasti tahu apa itu Roblox. Dan saya yakin Anda yang punya anak pasti pernah memainkannya juga. Roblox adalah sebuah permainan daring di mana kita bebas merakit dunia kita sendiri dan memainkan permainan yang dibuat oleh pengguna lain. Mirip dengan permainan Minecraft, tetapi dicampur Lego. Bahkan karakter-karakter di sini didesain menyerupai karakter yang dirakit dengan balok-balok Lego.
Sekilas Roblox tampak seperti game imut biasa yang membebaskan kita untuk berekspresi dengan merakit dunia sendiri dan berhubungan dengan orang-orang lain di dunia maya. Namun ada satu alasan mengapa Mendikdasmen Abdul Mu'ti melarang anak sekolahan bermain Roblox atau game sejenisnya.
Abdul Mu'ti menilai bahwa intelektual para murid jenjang pendidikan SD belum sepenuhnya mampu membedakan mana adegan nyata dan mana rekayasa. Saya kerap membahas di beberapa postingan bahwa seiring bertumbuhnya anak, mereka belajar dengan sangat cepat. Anak kecil adalah peniru ulung; mereka kerap menirukan apa yang mereka lihat di dunia digital atau mainkan di video game. Misalnya, mereka suka menonton tutorial make-up, mereka akan meniru apa yang mereka tonton, tanpa pengetahuan mengenai dunia tata rias. Anak suka melihat film action dengan adegan pukul-pukulan, maka mereka akan tiru apa yang mereka lihat di film, walaupun mereka seharusnya tahu, kaki tidak boleh digunakan untuk menendang atau menyakiti orang, dan likewise dengan tangan, tidak boleh digunakan untuk mencakar atau memukul. Menggunakan anggota tubuh untuk menyakiti orang adalah dosa.
Revealing Reality, pakar perilaku digital, menunjukkan kekhawatiran yang sama dengan Abdul Mu'ti terkait Roblox melalui riset mereka, yang menunjukkan betapa mudahnya anak-anak di bawah umur menemukan konten yang tidak pantas dan berinteraksi tanpa pengawasan orang dewasa dalam video game.
Tetapi bukan hanya Roblox, saya sedih melihat anak-anak memainkan game yang tidak seharusnya mereka mainkan di usia mereka yang masih di bawah 10 tahun. Kita ambil contoh misalnya game dress-up. Di game ini kita memakaikan baju kepada seorang karakter (biasanya wanita) yang masih mengenakan pakaian dalam. Ini adalah sesuatu yang tidak sepatutnya dilihat oleh anak di bawah umur.
Belum yang suka bermain Mobile Legends atau PUBG Mobile. Kadang, kedua game ini sering memicu pemainnya untuk BERKATA-KATA KASAR - sesuatu yang tidak seharusnya diucapkan siapa pun, terutama anak kecil. Sejak usia dini, anak harus diajarkan untuk bersikap dan bertutur kata yang sopan, terlebih jika bermain game yang dikenal menyulut emosi seperti ML atau PUBG. Beruntunglah Anda menemukan content creator seperti Naisa Alifia Yuriza (ups, saya membicarakan Nay terus), yang mana di awal-awal dia terjun ke dunia content creation saat berusia 10 tahun, dia mengunggah video sedang bermain PUBG. Dan dia sama sekali tidak berkata-kata kasar dalam video tersebut. Benar-benar perilaku yang harus dicontoh dari seorang cewek green flag.
Jadi, anak Indonesia harus main apa jika tidak boleh main Roblox?
Di zaman yang serba digital ini, orangtua harus pintar-pintar memilihkan game yang tepat untuk anaknya yang masih masa pertumbuhan secara mental. Dulu, saat masih zaman game dalam bentuk CD, mudah saja kita menemukan game untuk anak yang sifatnya edukatif, misalnya Akal Interaktif atau Edu-Games. Dan inilah game yang bisa dimainkan oleh anak-anak usia dini, karena mereka bisa belajar mengenali huruf, angka, bentuk, warna, dan hal-hal dasar.
Atau untuk game konsol, ada game yang melatih anak bisa memasak, yaitu Cooking Mama. Di usia di mana anak-anak masih terlalu kecil untuk bisa menyalakan kompor gas atau oven, mereka bisa berkhayal seolah-olah mereka seorang celebrity chef yang memasak, hanya dengan menyentuh layar dengan stylus di Nintendo DS.
Tetapi jika tidak sedang bermain gadget, anak dapat diajak bermain di alam atau bermain permainan tradisional bersama teman-teman. Misalnya bermain congklak, engklek, patok lele, gobak sodor, atau hanya sekedar mengumpulkan berudu di tepi sungai, mandi di sungai, turun ke sawah, atau menggiring kerbau ke kandang. Anak harus dibatasi waktunya bermain gadget, terutama mereka yang masih sekolah, karena kita harus tahu, yang paling penting adalah, mengejar prestasi, belajar agar cita-cita tercapai. Membaca buku adalah kegiatan yang mengasyikkan jika tidak bermain game.
Yuk, mulai sekarang kita pintar-pintar memilih game untuk anak kita dan mengawasi mereka saat bermain game tanpa khawatir prestasi jebol.
Tabik,
Yudhistira Mahasena
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI