Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banalitas Kita di Media Sosial

21 Januari 2021   07:19 Diperbarui: 21 Januari 2021   07:27 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dangkal. Ekspresi komunikasi di media sosial mengalami pendangkalan. Pangkal penyebabnya adalah keterbatasan ruang penyampaian. Tidak dipungkiri, pola komunikasi digital telah menjadi arus utama menggeser model komunikasi fisik secara tradisional.

Di media sosial, ungkapan sebuah pernyataan menjadi terbatas dan dibatasi. Tidak hanya karena limit jumlah karakter seperti di Twitter, tetapi juga karena pola adaptasi digital dalam perilaku kehidupan modern mengakibatkan keterburu-buruan untuk sampai pada kesimpulan.

Hal tersebut menjelaskan perangai literasi informasi digital kita, yang terbiasa membaca artikel pendek dibandingkan format buku beratus halaman. Termasuk seperti saat Anda yang tengah membaca rubrik opini ini dengan gaya penulisan deskriptif. Kecepatan menciptakan kekosongan makna secara bersamaan.

Dalam algoritma kerja media sosial, pengguna -user didorong untuk mencari informasi yang spesifik dengan model sortir dan pemindaian cepat -scanning. Hal itu membuat pemahaman atas suatu substansi tidak lagi utuh, melainkan terputus dan sepotong.

Banal dalam konsep definisi, sesuai KBBI menerangkan tentang dangkal, kasar (tidak elok) dan biasa. Melalui ketiga kriteria tersebut, kita memahami bahwa perilaku kita bermedia sosial telah mencapai tahap banalitas kompleks. 

Caci maki dan sumpah serapah di media sosial adalah realitas kita saat ini. Kita kehilangan makna secara menyeluruh, dangkal. Lebih jauh lagi kita juga semakin permisif untuk berlaku kasar dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Nilai dasar universal atas etika dan moralitas melenyap.

Hannah Arendt menyebutkan analisisnya atas fenomena Perang Dunia Kedua di era dunia modern sebagai ruang kejahatan moral, dan menemukan gejala banalitas kejahatan -banality of evil, bahwa kehidupan yang berada dalam nuansa kejahatan tersebut dirasakan menjadi sesuatu yang tampak biasa, hal umum dalam keseharian.

Kreasi Bersama

Konstruksi media sosial mencengkeram erat perilaku hidup kita. Melalui platform digital, kita menelusur jejaring ruang kehidupan di jagad maya. Seluruh pemangku kepentingan dalam keterhubungannya online tersebut, memiliki peran setara atas penciptaan banalitas di media sosial.

Para pemegang kekuasaan bertindak sebagaimana demagog yang memainkan peran menghasut alih-alih mencerahkan. 

Setidaknya, kajian Christian Fuchs dalam Digital Demagog: Authoritarian Capitalism in The Age of Trump and Twitter, 2018, menggambarkan sebagaimana pemimpin layaknya Trump memanfaatkan panggung media sosial untuk kepentingan berkuasa, dengan memainkan api sentimen sekaligus menguatkan polarisasi politik publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun