Barter. Kemajuan kehidupan manusia modern, tidak lain adalah pertukaran kesenangan saat ini, dengan ancaman lingkungan yang akan terjadi di masa depan. Dibutuhkan tidak hanya kesadaran, tetapi juga langkah nyata dalam mencegah malapetaka kepunahan.
Dengan begitu, protes keras yang dilayangkan kelompok pemerhati dan para aktivis lingkungan, sejatinya perlu disikapi dengan terbuka. Sebagaimana Greta Thunberg, aktivis muda dari Swedia, yang berfokus pada lingkungan, pemanasan global serta perubahan iklim.
"Karena para pemimpin kami bertingkah seperti anak-anak, kita harus mengambil tanggung jawab yang seharusnya mereka ambil sejak lama" - COP24, Polandia, (4/12/18).
Bahkan bagi Greta, upaya untuk merespon kerusakan lingkungan, yang berkonsekuensi pada peningkatan muka air laut yang dipengaruhi akibat pertambahan suhu bumi, adalah prioritas utama saat ini yang tidak bisa ditunda-tunda.
Hal ini pula yang tertuang dalam buku setebal 330 halaman, ditulis David Wallace Wells seorang editor majalah New York, berjudul Bumi yang Tak Dapat Dihuni, Kisah Tentang Masa Depan, 2019.
Pada keseluruhan buku tersebut, David merangkai persoalan tentang bumi, yang kini tampak berhadapan dengan ketidakmampuan dukungan alamiahnya, untuk menjadi ruang yang cukup bagi kehidupan manusia.
Efek Kupu-Kupu Resiprokal
Dalam penjelasannya, David mengurai kronologis dari berbagai kenyataan yang kini telah menjadi realitas sosial kehidupan umat manusia. Fenomena kebakaran lahan di berbagai belahan dunia, yang kerap terjadi, seiring dengan terik kekeringan di musim kemarau yang semakin memanjang, adalah normalitas baru -new normal.
Perspektif kenormalan baru tersebut, justru menunjukkan kegagalan manusia dalam berpikir panjang atas problem yang tengah dihadapi bumi, menjadi seolah hanya sebagai dampak natural.
Padahal, kejadian kebakaran lahan bahkan termasuk hutan, akibat siklon panas kemarau tersebut merupakan mata rantai yang terjadi secara korelasional dengan pemanasan suhu bumi sekaligus kerusakan lingkungan alam di penjuru dunia.
Runtutan penjelasan David menjadi logis dan rasional, dengan melihat dimensi keterhubungan yang kompleks antara pemanasan bumi, mencairnya bongkahan es di belahan kutub, peningkatan muka air laut, kemarau terik yang panjang, merebaknya wabah, kekeringan, krisis pangan, hingga potensi konflik fisik antar negara.
Kemajuan modernitas dan pembangunan, yang selama ini menjadi jargon dari peradaban manusia, sesungguhnya berbalik menjadi simalakama. Terlebih proses eksploitasi alam terjadi tanpa henti, tanpa banyak berhitung dampak turunan dalam durasi di masa depan secara berkelanjutan.