Berdamai! Dalam teori konflik, mekanisme resolusi yang dapat diajukan adalah dialog dan negosiasi. Problemnya, kita berhadapan dengan musuh tak terlihat, yang sulit untuk diajak kedua hal tersebut.
Mungkinkah format berdamai dapat menjadi usul jalan tengah dari situasi pandemi kali ini? Berbagai pendekatan strategi dalam menghadapi pagebluk, telah dilakukan di banyak negara.
Sekurangnya, ada dua kluster besar, sebagaimana Rhenald Kasali sebut, (i) containment -pembatasan secara fleksibel, dan (ii) suppression -karantina fisik sebagai pendekatan keras semi otoriter.Â
Sebagai sebuah strategi, keduanya mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Efektifitas dari strategi menghadapi pandemi tersebut, juga memiliki faktor pengaruh yang bermacam-macam.
Bila ditelaah lebih lanjut, kemampuan efektif dalam menerapkan kedua strategi tersebut, disebabkan faktor; (i) kapasitas dan kemampuan negara, (ii) model kepemimpinan, serta (iii) kepercayaan publik.
Kombinasi ketiganya, merupakan unsur penting dalam upaya menguatkan pengaruh persuasi, untuk melakukan suatu tindakan yang disepakati, sekaligus membangun kedisiplinan guna mencapai tujuan.
Membangkitkan Harapan
Menyerah pada keadaan, bukan pilihan. Kita dihadapkan pada pilihan sulit, mengutamakan kesehatan atau dampak ekonomi? Keduanya memiliki konsekuensi dan risikonya tersendiri.
Sebagaimana pilihan, mendahulukan tindakan pembatasan yang masih memungkinkan terjadinya penularan, atau memenuhi kewajiban bagi seluruh entitas publik karena opsi karantina? Simalakama.
Diantara pilihan itu, kita kerap mengambil jalan tengah dengan model mengkombinasikan kedua pilihan tersebut. Maka bisa dipahami bentuk yang diambil sebagai kebijakan memiliki corak ambigu.
Mudik sudah dinyatakan dilarang, tetapi nampak berlawanan dengan kemungkinan adanya arus pulang kampung, dikarenakan kondisi ekonomi sudah tidak bisa dipertahankan. Ruwet bin ruwet.