Menarik! Rilis hasil survei Indo Barometer, yang dilakukan pengumpulan datanya pada 9-15 Januari 2020 itu, menghasilkan berbagai kesimpulan yang perlu dibaca ulang. Tidak terkecuali bagi publik, dan para aktor politik tanah air.
Survei sebagai sebuah metode ilmiah, dilakukan untuk melakukan pengukuran persepsi publik. Formatnya dimunculkan, melalui pengolahan data statistik. Lantas, angka hasil ditampilkan, untuk kemudian menjadi informasi berharga.
Proses perubahan data dalam angka menjadi informasi, membutuhkan kemampuan interpretasi. Membangun narasi, yang dapat menjelaskan kehadiran angka-angka sebagai konklusi atas hasil survei.
Sebelum masuk lebih jauh, kaedah klasik yang terpenting dalam sebuah survei adalah, "boleh salah, tidak boleh berbohong". Karena itu, pada beberapa pembuktian survei, bisa jadi dan kerap kali, proyeksi hasil survei tidak bersesuaian dengan realitas sesungguhnya.
Hal tersebut, dikategorikan sebagai margin error. Kesalahan bisa terjadi secara bertingkat.Â
Pertama: dimulai dari salah dalam penentuan sampel, termasuk jumlah sampel yang dibutuhkan.
Kedua: keliru dalam mempergunakan metodologi, hingga penyusunan pertanyaan, serta melakukan pengolahan data berdasarkan formula statistika.
Ketiga: hingga pada akhirnya, tidak tepat dalam penarikan kesimpulan atas hasil yang terbentuk.
Bias kesalahan-kesalahan tersebut, adalah batas normal yang masih bisa ditoleransi, sebagai sebuah bentuk kekurangan dari metode ilmiah yang diakui.
Tetapi perlu juga untuk cermat memperhatikan, bahwa survei tidak hadir di ruang hampa. Sehingga, survei tersebut tidak datang dengan apa adanya. Survei berfungsi untuk mengukur persepsi publik, sekaligus mengkonstruksi opini publik.
Bagaimana bisa? Tafsir hasil survei yang ditampilkan melalui berbagai kanal media, menjadi sarana untuk memunculkan kesadaran baru di tengah publik. Sekurangnya ada dua teori komunikasi yang bertautan, Spiral of Silence dan Agenda Setting.