Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Komunikasi Simbolik, Infrastruktur Toleransi

14 Februari 2020   05:08 Diperbarui: 14 Februari 2020   07:59 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lanskap Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2014).(KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO-RODERICK ADRIAN MOZES)

Tidak semua pihak mampu untuk memberikan interpretasi yang sama. Dan atas hal tersebut, pada sebuah komunikasi simbolik, seolah mensyaratkan kemampuan untuk dapat mencerna pesan secara lebih mendalam, guna mengurai makna. 

Hal ini pula yang membuat model komunikasi simbolik, bersifat tidak langsung. Kelemahannya, substansi konten, berada dalam selubung bentuk konteks.

Lebih sulit lagi, ketika konten dan konteksnya justru tidak bersambungan. Maka terjadi diskonten, alias minim substansi, atau kekeliruan dalam memahami sebuah makna pesan.

Memahami Toleransi
Terowongan itu diajukan sebagai simbol toleransi. Secara fisik terhubung, bisa berlalu lalang, tetapi belum menjawab apa yang menjadi wacana besar dari kerja kabinet. Perang melawan intoleransi dan radikalisme, adalah gagasan yang sedari awal didengungkan oleh pusat kekuasaan dan jajaran pembantunya.

Bahkan tampak seragam dan seirama, di semua sektor berbicara tentang hal serupa. Problematika bangsa ini, hendak dicari muara permasalahannya, dengan menyodorkan akar masalah, pada persoalan yang disebut sebagai intoleransi dan radikalisme.

Hal itu kemudian dijawab secara pragmatis kembali, dengan menawarkan solusi penyelesaian masalah menggunakan pendekatan infrastruktur fisik. Persoalannya menjadi tunggal, dengan jawaban yang monolitik. Klop, seolah terjawab meski masih menyisakan persoalan.

Mengacu pada Jamie S. Davidson, Menaja Jalan: Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia, 2019, maka persoalan pembangunan infrastruktur kerap menjadi sumber bancakan penyelewengan. Ruang kongkalikong dalam perburuan rente, yang dipergunakan juga bagi kepentingan politik, yakni merebut serta mempertahankan kekuasaan.

Bila begitu, pembangunan sesungguhnya diperuntukan bagi siapa? Cui bono, sebut filsuf Cicero, untuk bertanya siapa yang memperoleh keuntungan dari suatu situasi. 

Ruang publik, selama ini dicekoki dengan kata intoleransi dan radikalisme, sebagai sebuah istilah dalam satu tarikan nafas penyebutan. Perlu dipahami, toleransi sebagai basis utamanya, justru memberikan kelegaan dalam perbedaan. Sehingga, upaya penyeragaman justru menghilangkan keberagaman.

Periode Orde Baru, yang ketat dengan asas tunggal Pancasila, kemudian berhadapan dengan gelora kebebasan melalui reformasi. Kini seolah hendak membalik diri pada konsepsi seragam, sesuai tafsir kuasa. Ada kekhawatiran, akan tergelincir pada sifat kekuasaan yang cenderung otoritarian.

Toleransi juga bermakna merawat perbedaan, bukan sekedar membentuk persetujuan. Termasuk, menyebut pernyataan intoleran, menciptakan batas pemisah, yang ditujukan bagi suatu kelompok, seolah menutup ruang berbeda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun