Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Merdeka, Sebuah Renungan

5 Februari 2020   04:19 Diperbarui: 5 Februari 2020   04:26 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Alokasi dukungan pemerintah bagi perguruan tinggi negeri terbilang cukup, mulai dari infrastruktur hingga sumber daya manusia. Belum lagi menyoal minat peserta didik untuk berkuliah di kampus negeri. Sementara itu, kampus swasta adalah oase dari keterbatasan kampus negeri.

Apa jadinya bila arah kebijakan "kampus merdeka", justru mematikan potensi kampus swasta, alih-alih membuat sektor swasta lebih berdaya guna menjadi partner dari kampus negeri? Akankah skema baru ini mampu mendorong peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi?

Karya Bersama

Dikotomi kampus negeri dan kampus swasta ini tidak bisa dihindari. Melekat bersama keterpisahan tersebut, persepsi terkait dengan kualitas mutu pendidikan. Terang saja berbeda. Kampus swasta harus subsisten menghidupi dirinya sendiri.

Sehingga, ketika pendidikan tinggi dimaknai sebagai mekanisme produksi, maka output secara nasional adalah karya bersama seluruh stakeholder perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.

Konsep "kampus merdeka", yang mengemukakan (i) pembukaan prodi baru, (ii) sistem akreditasi, (iii) perguruan tinggi negeri berbadan hukum, dan (iv) hal belajar tiga semester diluar program studi, perlu mendapatkan fokus penajaman sehingga berdampak positif.

Dalam uraian mengenai (i) pembukaan program studi, konsep otonomi sebagai bentuk kebebasan untuk membentuk program studi, agar relevan dan kontekstual atas tuntutan industri, merupakan kebijakan adaptif di era disrupsi. Sehingga patut di acungi jempol.

Sejatinya, moratorium jumlah perguruan tinggi perlu dilakukan, dengan perluasan program studi. Peran kampus swasta, berkolaborasi dengan kampus negeri, melakukan upaya bersama menjangkau seluruh lapisan sasadan di daerahnya masing-masing. Perlu dukungan pemerintah daerah untuk itu. Tujuannya peningkatan angka partisipasi.

Pertanyaannya, mengapa kampus kesehatan justru direstriksi? Padahal banyak varian ilmu kesehatan yang masih dibutuhkan di era BPJS Kesehatan. Bukankah kampus harus mampu menjawab tantangan zaman, untuk dapat menyelaraskan diri dengan situasi yang melingkupinya?

Terkait dengan (ii) sistem akreditasi, hal ini jelas merupakan dobrakan mengatasi kebuntuan akreditasi perguruan tinggi. Simplifikasi administrasi, harus menjadi sebuah bentuk baru. Pendidikan yang dibangun dengan skema over regulated menghasilkan gaya pendidikan monoton.

Lantas, lanjutan ceritanya, apa langkah yang dipersiapkan untuk mendukung peningkatan akreditasi kampus, khususnya swasta? Bagaimana insentif bagi perbaikan kualitas, yang dicerminkan melalui akreditasi? Akankah dibiarkan kampus-kampus yang tidak mampu bertahan, untuk menghilang berdasarkan seleksi alam? Ataukah akan dipertahankan, dengan mendapatkan bimbingan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun