Problemnya, sesuai diktum Menteri Propaganda Nazi Goebbels, repetisi kebohongan bisa menciptakan sebuah realitas kebenaran baru.
Pada konteks ekonomi, mekanisme periklanan adalah bentuk nyatanya. Penyembunyian kekurangan serta dampak buruk, ditutupi oleh nilai manfaat yang seolah-olah jauh lebih besar, sebuah bentuk kebohongan yang sama. Jadi, sesungguhnya era post truth sudah berlangsung lama. Lalu tampak relevan bila dikaitkan dengan situasi kekinian.
Berapa banyak investasi bodong? Penipuan agen travel? Bagaimana kasus Kanjeng Dimas? Post truth hadir bersamaan dengan informasi bohong alias hoax, bisa jadi terbalut rapi dalam sebuah skenario. Sudah sejak dulu para peminat kekuasaan -power seeking, menggunakan metode yang sama untuk mencapai tujuannya.
Jadi kebohongan adalah cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai kursi kuasa, meski tidak berbanding lurus dengan legitimasi. Bahkan skema politik yang demokratis melalui pemilu, pun bisa direkayasa secara manipulatif. Ferdinand Marcos dan Filipina, dengan aksi people power adalah bentuknya.
Perlu diingatkan, dalam era post-truth kebohongan itu tercampur dengan kebenaran, percampuran tersebut mengakibatkan kaburnya batas-batas realitas, dalam istilah Baudrillard dikenal sebagai hiperrealitas, yang terbentuk dalam ruang simulakra. Menjadi simulasi realitas yang semu. Dan tidak mudah memisahkan diantara keduanya ketika telah bersenyawa.
Perluasan Sosial Media
Kehadiran sosial media yang pada awalnya menjadi bagian dari upaya mempermudah komunikasi tidak dapat dihindari menjadi sarana perbesaran kanal hoaks, bagi para pihak yang saling bersaing. Lebih rumit lagi, ruang media baru seperti media sosial memberikan teritori privat dengan model anonymous, bahkan menggunakan false identity.
Ketika publik sudah tidak mampu melakukan self screening informasi, maka realitas disandarkan pada aspek emosionalitas, berdasarkan perasaan -feeling into.Â
Maka melalui kecanggihan teknologi, sosial media mengadopsi mekanisme algoritma perangkap filter bubble, membentuk gelembung informasi yang selaras minat end user, maka news feed sosial media menawarkan hal sama, mengadopsi prinsip homophily.
Konsumsi informasi yang keliru tersebut, menurut Baudrillard semakin menghilangkan realitas. Dengan begitu, realitas dunia maya terlepas dari kenyataan faktual, bahkan kerap disembunyikan untuk kepentingan tertentu.
Bisa dibayangkan, politik identitas semakin mengental bersamaan dengan perkembangan teknologi, terbentuknya networking society melalui internet memudahkan proses amplifikasi informasi tersebut.Â