Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menimbang Saham Pabrik Bir

15 Maret 2019   11:28 Diperbarui: 15 Maret 2019   12:17 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Mabuk dan memabukan! Minuman beralkohol menjadi persoalan yang tidak mudah. Ada nilai bisnis disana, tetapi ada pula dampak sosial yang sedang ditransaksikan. Perdebatan tentang rencana pelepasan saham pemerintah DKI pada perusahaan minol tidak berlangsung mulus. Terjadi diskursus yang menjadi kontra atas usulan tersebut. Parapihak yang seolah menolak tersebut melemparkan argument perlu penjelasan secara ekonomis dan legal atas ajuan Pemda DKI.

Pikiran saya pun melayang pada sebuah studi kasus, maka pertanyaan yang disampaikan sebagai persoalan adalah sebagai berikut;"Diantara berbagai tindakan berikut, apakah membunuh, memperkosa ataukah mabuk yang akan Anda pilih?". Bentuk pertanyaan ini memang ekstrem, sekaligus menggugah nalar kita tentang betapa berbahayanya minuman beralkohol (minol).

Kembali pada pertanyaan tersebut, alam bawah sadar kita akan cenderung untuk menempatkan tindakan yang minimal dampaknya bagi pihak lain, karena membunuh dan memperkosa adalah sebuah tindak kejahatan, maka mabuk seolah menjadi pilihan terbaik. Padahal, dalam kondisi tidak sadar yang disebabkan pengaruh alcohol, seseorang berlaku agresif, bahkan bisa memperkosa sekaligus membunuh secara bersamaan, jadi mabuk jangan pernah dianggap persoalan remeh.

Diluar itu, merujuk kembali pada perdebatan tentang pelepasan saham pabrik bir, seolah hal ini terkait serta disangkut pautkan, dengan aspek administratif kewenangan dan komunikasi antar pejabat daerah, baik ditingkat eksekutif dan legislatif, maka poin yang tidak bisa dipisahkan adalah kehadiran diskusi tersebut ke ruang publik. 

Dengan demikian, informasi tentang saling silang pendapat itu, kemudian menjadi panggung negosiasi politik. Tetapi harus diingat, periode ini adalah tahun politik, dan siapapun yang mengambil respon berbeda dari persepsi publik akan mendapatkan reaksi seimbang dalam persoalan dukungan serta legitimasi suara publik.

Sejuta pertanyaan kontra usulan tersebut, kemudian dimunculkan, seperti; mengapa bisnis yang menguntungkan dilepaskan? Kalau kemudian hal ini terkorelasi dengan persoalan alcohol yang terkait dengan aspek halal-haram dalam kaidah Agama, mengapa tidak Bank DKI dijual sekalian, toh ada riba disana? Kan DKI bukan hanya milik sekelompok golongan dengan Agama tertentu saja? Terlebih keuntungan bisnis pabrik bir bisa dipergunakan bagi pembangunan yang memiliki kebermanfaatan publik?.

Tentu saja counter argument bisa pula disampaian. Pertama: menguntungkan dengan konsekuensi atas dampak dan risiko sosial yang lebih tinggi, terkait kecanduan, kesehatan dan kejahatan tentu bukan sekedar nilai deviden. 

Kedua: program usulan penjualan saham Pemda DKI ditempatkan pada level yang paling mungkin dilakukan, karena porsinya tidak mayoritas jadi bisa ditransaksikan secara komersial, beda dengan Bank DKI yang masih memiliki potensi konversi kedalam format Bank Syariah nantinya. 

Ketiga: justru ajuan usulan ini, menjadi bagian dari upaya perlindungan bagi seluruh pihak tanpa terkecuali. Keempat: soal reinvestasi hasil laba bisnis bir bagi pembangunan, maka nilainya terbilang kecil, dibandingkan penjualan saham langsung.

Soal halal haram minuman keras beralkohol, yang diyakini sebagai nilai sosial kemasyarakatan, harusnya menjadi acuan yang tidak dapat ditawar. Prinsip utamanya adalah menyelematnya bahagian terbesar dan lebih banyak, dibandingkan mengakomodasi aspirasi minor yang berbeda, demokrasi bukan soal lantang suara tetapi tentang dukungan publik yang meluas. Maka soal pelepasan saham pabrik bir, rasionalitas publik di Ibukota tidak bisa dipisahkan dari nilai dan moralitas tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun