Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Algoritma Post Truth di Tahun Politik

5 Februari 2019   07:30 Diperbarui: 5 Februari 2019   08:19 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

PROPAGANDA ala RUSIA! Kini seolah menjadi istilah yang trend, dikaitkan dengan hangatnya suasana tahun politik. Diksi tersebut tidak terlepas dari apa yang sebelumnya terjadi pada Pemilu Amerika 2016 dengan keterpilihan Trump sebagai Presiden. Disinyalir melalui kekuatan teknologi Rusia lah, yang membantu pemenangan Trump nyaris tidak terprediksi melalui berbagai survei politik saat itu. Perdebatan tentang hal tersebut masih menjadi polemik di negeri Paman Sam, dan terus bergulir.

Salah satu yang disebut-sebut sebagai strategi dalam pencapaian Trump dan skema propaganda Rusia adalah Firehouse of Falsehood, yang dimaknai sebagai semburan kebohongan, secara masif dan terus menerus. Teknik ini sesungguhnya remake metode ala Goebbels menteri Propaganda Nazi, dengan menggunakan efek manipulasinya. Kebohongan yang diproduksi secara berulang, pada akhirnya menjadi sebuah realitas kebenaran baru.

Pasca Trump, sebutan Post Truth juga mulai mengemuka, terkait dengan sebuah era yang melepaskan realitas di dalam kubangan kebohongan, khususnya pada ruang virtual dunia maya. 

Sejatinya jagad online menjadi ruang publik, yang memiliki kemampuan melalui jejaring internet, sehingga dapat meringkas jarak, ruang dan waktu, serta membangkitkan interaktivitas. Di sini pula letak persoalannya, ruang digital masih mengadopsi sifat anonymous, sehingga ada ruang gelap identitas yang mudah ditunggangi kepentingan tidak bertanggung jawab, berhadapan dengan potensi persebaran dan perluasan informasi yang sistematik dalam viralitas.

Tentu, dalam kajian yang sangat mendasar, situasi kali ini adalah konsekuensi logis dari dampak kehadiran teknologi informasi dalam kehidupan publik. Perkembangan aplikasi komputasi dengan menggunakan algoritma yang disesuaikan pada cara berpikir manusia sebagai end user, adalah bentuk dari kemajuan perusahaan teknologi dalam mencoba memahami manusia dalam kumpulan big data perilaku online kita melalui keterhubungan internet.

Lalu apa hal terpenting dari persoalan propaganda ala Rusia tersebut? Tentu selain harus dibuktikan, agar tidak menyebabkan hoaks baru, maka hal ini dapat dipahami dalam konteks, bahwa: (a) internet adalah medium bebas nilai, sementara (b) politik merupakan sarana menuju kepentingan kekuasaan. Dengan demikian, komunikasi pada ranah politik di dunia maya, menjadi sarat kepentingan dan tidak bebas nilai, merupakan bentuk persuasi baik dalam bentuk halus hingga vulgar.


Tanggung Jawab Bersama

Masalah hoaks dan termasuk ujaran kebencian -hatespeech cenderung kompleks, maka menjadi teramat penting untuk menganalisis peran stakeholder bangsa ini, terkait mekanisme dalam perangkat kerja hoaks. Secara jujur perlu kita akui, dan terkonfirmasi melalui Deception Theory bahwa sekurangnya seluruh manusia di muka bumi ini pernah berbohong, baik dalam jenis dan tingkatan kebohongan yang berbeda-beda, tentu dengan beragam motif penyertanya.

Apalagi di lapangan perpolitikan, janji yang ditebar belumlah tentu hasil yang diperoleh, termasuk dalam kriteria kebohongan lainnya, tidak terkecuali. Terlebih, imaji dan citra kerap di framing secara hiperbolik, membuat terselubungnya karakter kekuasaan dalam diri polisi dan para elit negeri. Sehingga menjadi penting mengetahui duduk dan peran kita, dalam mencegah perluasan patologi sosial, yang kemudian mulai permisif dalam menoleransi kebohongan, sebagai sebuah cara dan metode guna memperoleh kemenangan.

Di tingkat publik, maka literasi adalah kunci. Melek informasi, melakukan verifikasi, memastikan keberlimpahan data dan informasi di dunia maya tersortir melalui filter self screening, harus menjadi tata laku. Pilih dan pilah konten yang memberi pencerahan serta manfaat, terutama bagi diri sendiri serta untuk kepentingan publik bila di posting sebagai update status di sosial media.

Pada tataran media mainstream maupun media online, perlu kembali ke fundamental persoalan kode etik. Sesuai khittah, fungsi media adalah mendorong pencerdasan kehidupan bermasyarakat, bila kemudian media justru memperkeruh, mengail keuntungan dari kesempitan sosial yang terjadi, sebagai akibat dari polarisasi politik, maka menang jadi arang kalah jadi abu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun