Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Antara "Game of Thrones" dan "Maju Kena, Mundur Kena"

17 Oktober 2018   11:39 Diperbarui: 17 Oktober 2018   12:16 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Imajinatif! Pidato itu kini menjadi lebih imajiner dengan metafora fiksi yang dibangun didalamnya. Setelah Avangers: Infinity War, kini Jokowi memainkan kembali frame yang serupa. Tentu bagi millenial, hal-hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri. Pilihan berpidato dan menggunakan berbagai model analogi didalamnya adalah bagian dari strategi penyampaian pesan.

Tapi penggunaan kias imajinasi, berbasis fiksi juga sempat menjadi pokok pembahasan ketika dipergunakan dalam estimasi atas proyeksi "Indonesia sebagai negara yang akan bubar pada 2030". Padahal dalam kedua narasi tersebut, sama-sama menggunakan ilustrasi khayal, mengajak kita untuk berpikir tentang upaya membangun persatuan, dalam mengatasi segala permasalahan saat ini.

Problemnya, kita memang sibuk dengan berjibaku pada urusan pengelompokan politik, serta melupakan esensi penting yang harus dirumuskan dalam menjawab tantangan masa depan. Tentu saja makna fiksi berbeda dari fiktif yang bersifat manipulasi, maka daya khayal fiksi sebagai bentuk imajinasi menciptakan ruang kreatif. Ketika fiktif menjurus pada formula hoaks, maka fiksi dapat dijadikan sebagai bentuk gagasan dimasa mendatang.

Para ilmuwan yang menyukai proyeksi masa depan, bahkan disebut sebagai futurolog. Mulai dari Huttington, Fukuyama hingga Tofller dikenal dalam posisi tersebut. Jadi fiksi bisa berubah menjadi sangat ilmiah, bila ditekankan pada aspek penguatan asumsi empirik yang mendukungnya. Atau bisa juga menjadi arah bagi pencapaian tujuan -telos dikemudian hari. Tapi pada kondisi tersebut, sebaiknya ranah fiksi dipisahkan dari ruang agama, yang membutuhkan aspek kepercayaan penuh secara fundamental.

Jelas makna kias hanya dipergunakan untuk mempermudah pemahaman, tetapi tentu tidak berhenti sampai ditingkat itu. Kemampuan mengindentifikasi persoalan, adalah skill yang terintegrasi dari penterjemahan masalah hingga pengambilan keputusan untuk langkah dan tindakan selanjutnya -decision making. Bahkan menurut Einstein, kalaulah dia diberi waktu satu jam dalam menyelesaikan sebuah persoalan, maka dia akan habis 55 menit untuk mengurai masalah, dan menggunakan 5 menit waktu tersisa untuk membuat solusinya.

Dengan demikian hal tersebut menjadi sebuah kesatuan utuh, hingga nantinya ditindaklanjuti dengan fase eksekusi program dan evaluasinya. Jadi meski menempati hal penting dalam penyelesaian soal, tetapi bersegera menuntaskan masalah adalah pelengkap penyempurnanya. Kalau kemudian permasalahan dunia dalam integrasi ekonomi global sudah dapat dipetakan, jelas bahwa kita tidak akan berhenti sampai pada diskusi atas perumpamaan, melainkan menyusun langkah terhadapnya.

Menekankan faktor eksternal yang tidak dapat kita kelola adalah sebuah kesia-siaan, perang dagang dua negara raksasa yakni Amerika dan China adalah sebuah kenyataan, jadi kita perlu membuat strategi terhadapnya. 

Meminta kedua belah pihak tersebut untuk meredakan tensi ketegangan, yang kini dampaknya berimbas secara global jelas hanya jadi "angin lalu", karena keduanya hendak bertanding memperebutkan posisi sebagai kampiun pengatur utama dunia.

Perang Semesta dan Jalan Keluar

Pada kajian perang semesta, maka era perang fisik telah berakhir pada perang dunia ke II. Kini model skema perangnya berbeda, perang ekonomi, budaya dan teknologi. Perang tanpa senjata dimulai, tetapi melalui dominasi keunggulan spesifik, yang menyebabkan posisi ketergantungan. Dengan berbekal hal tersebut perang yang terjadi memang tidak menyebabkan pertumpahan darah secara langsung, namun konsekuensi turunannya tetap fatal.

Negara-negara yang memiliki keunggulan bersaing, dan mempunyai aspek strategis secara spesifik yang menjadi pembeda, menempatkan hal tersebut sebagai alat untuk membangun posisi tawar. China jelas kini memiliki basis industri yang mumpuni sebagainew superpower, dan Amerika masih menjadi negara adikuasa sekaligus sebagai polisi dunia, dengan kekuatan teknologi yang eksklusif. Sisanya, berbagai negara didunia hanya diposisikan sebagai pelengkap kemajemukan. Sehingga daya tekan mungkin dapat dilakukan, bila terjadi kohesi antar negara-negara yang berada diluar "mereka" yang berseteru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun