Hakikat kehadiran pengetahuan adalah sebagai sarana bantu kehidupan, yang merupakan hasil aktifitas akal budi manusia. Pengetahuan bersifat praktis, menjadi daya dukung bagi kehidupan, sekaligus filosofis merupakan kerangka bagi pembangunan dunia kemanusiaan itu sendiri.
Pada pendekatan praktis, manusia merupakan homo faber yang menyejatikan eksistensi kehadiran dirinya melalui kegiatan bekerja yang dilakukan, tidak hanya sekedar bekerja untuk bertahan hidup, tetapi sekaligus menjadikan kerja sebagai ekspresi atas karya serta nilai kemanusiaan.
Sepanjang sejarahnya, pengetahuan memiliki kecenderungan akan keberpihakan, seharusnya arah atas tendensi tersebut diutamakan bagi kepentingan kolektif manusia, namun pada realitasnya pengetahuan kerap menjadi alat penguasa untuk mendominasi relasi sosial yang terbentuk, sehingga menimbulkan ketertundukan.
Dengan demikian, prinsip bebas nilai, terutama "bebas dari" tekanan diluar nature pengetahuan serta "bebas untuk" kepentingan kemanusiaan adalah bentuk imajinasi ideal. Pun termasuk keberadaan teknologi sebagai aplikasi praktis dari fungsi pengetahuan sebagai pendukung kehidupan manusia.
Penguasaan teknologi yang terkonsentrasi pada sekelompok orang mengakibatkan berkuasanya segelintir elit atas mayoritas. Relasi asimetris homo faber atas ilmu pengetahuan tersebut, menciptakan model keterpaksaan manusia atas nama otoritas kuasa pengetahuan dan teknologi.
Demikian pula dengan alam politik dan demokrasi kita saat ini, yang selalu ramai sebagai akibat interaksi diruang virtual. Jejaring komunikasi dan informasi yang terintegrasi melalui akses kecepatan internet, semakin menegaskan pengetahuan adalah sumber kuasa.
Uji faktual atas paradoks kehadiran teknologi, Â menjadi semakin memunculkan bentuknya. Alat bantu itu sekaligus menjadi senjata yang mendekonstruksi kemanusiaan itu sendiri, sebagai alat perang untuk berseteru dibandingkan bersatu. Kemampuan pengetahuan end user teknologi menjadi sebuah syarat mutlak, meski penggunaannya secara serampangan pun kerap tidak terhindarkan.
Cyberspace akankah Publicsphere?
Pada ruang riil proses komunikasi justru kerap berbatas norma dan aturan terkait, tetapi diruang virtual semuanya berubah. Sesungguhnya panggung dan area komunikasi yang setara tersebut adalah bentuk dari ruang publik untuk menciptakan balancing atas kuasa dominan sekelompok orang tertentu.
Namun ketiadaan batas yang memagari ruang di jagad maya tersebut, menyebabkan persoalan baru. Ketiadaan aturan adalah kekacauan, dan dalam suasana chaotik tersebut, sulit dibagun struktur yang harmonis dengan mengandaikan terbentuknya kesepahaman dan persetujuan.
Jadi kalaulah hari-hari ini ruang virtual kita banyak diisi dengan sampah digital dibanyak linimasa sosial media, baik dalam bentuk hoaks dan hatespeech, maka konsekuensi itu adalah hasil yang dituai dari proses yang memberikan campuran residu sebagai hasil. Dampak paradoksal yang diambil, ternyata lebih menghadirkan wajah buruk dibandingkan sisi yang baik.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Ketika informasi tidak terkendali, bahkan kini kita seolah kehilangan waktu untuk melakukan sortir atas informasi yang mampir pada update status akun sosial media yang terekspose di publik? Jawabnya pertimbangkan soal etika.
Manusia dalam modernitas, kerap kehilangan kemampuan mengelola diri, batas etika adalah garis penanda boleh/ tidak boleh, baik/ buruk atau bahkan bermanfaat/ tidak bermanfaat.
Lebih jauh lagi, manusia bertindak tidak hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga produsen berita, like and share mendorong viralitas, bermakna bekerjasama mempopulerkan sebuah wacana yang bisa jadi belum dapat diverifikasi nilai kebenarannya.
Ketika ruang virtual menjadi perpanjangan area dari real world, maka aturan-aturan yang berlaku sudah semestinya serupa, jika tidak maka kita tengah menciptakan peta buta di rimba raya. Cyberculture harus menjadi konstruksi baru dari dunia digital, lebih dari sekedar merumuskan cyberlaw.
Dalam posisi sebagai prosumer -kombinasi produsen konsumen, maka nalar yang dipandu etika menjadi saringan bagi rasionalitas. Dengan demikian, residu teknologi informasi dalam bentuk hoaks dan hatespeech bisa direduksi.
Mungkinkan? Mari kita sejenak menahan diri dan berpuasa jari, lantas bermenung tentang kontribusi apa yang dapat menjadi sumbangsih kita, bagi kehidupan kemanusiaan yang lebih baik, melalui keberadaan teknologi disekitar kita.
Sebagai homo faber kita memang harus terus bekerja mengatasi paradoks ketergantungan dan kecanduan kita pada teknologi!.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI