Penetapan seorang dokter dalam kasus korupsi e-KTP yang merujuk pada kasus mantan Ketua DPR Setya Novanto cukup mengagetkan.Â
Si dokter dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum. Sebaiknya hal ini mampu dibuktikan melalui fakta dan bukti. Dan bila kasus ini mampu dibuktikan, tentu harus menjadi sebuah standar baru, khususnya dalam konteks pelayanan kesehatan dikemudian hari.
Sebagai bagian dari pihak yang berkecimpung di dunia kesehatan, hal ini jelas sangat memprihatinkan. Tapi ijinkan saya, meski tanpa paparan bukti sebagaimana yang dimiliki oleh pihak berwenang, untuk menjelaskan pemaknaan tugas dan tanggung jawab kerja dari seorang tenaga kesehatan dalam profesinya.
Pelayanan Berempati
Dalam buku kecil Samsuridjal Djauzi dan Supartono, 2004, mengurai "Komunikasi dan Empati dalam Hubungan Dokter-Pasien". Terlihat bagaimana seorang dokter bersikap dalam tanggung jawab tugasnya, disertai dengan sikap profesionalisme.
Pertama: relasi terbalik. Pasien berhak untuk memilih dokter dalam penanganan penyakit, maka dokter justru tidak berhak untuk memilih pasien. Dokter wajib melayani siapapun yang datang membutuhkan pertolongan, tanpa kecuali, bahkan termasuk tersangka korupsi sekalipun.
Kedua: tanggung jawab dokter disertai dengan bekal klinis dan teknis medis. Sehingga, dalam menetapkan suatu terapi tindakan bagi pasien, dokter telah dibekali atas clinical reasoning untuk kemudian membuat clinical judgement.
Ketiga: dokter selaku pemberi layanan, sekaligus menjadi pihak yang menjaga ruang privacymedis bagi pasiennya. Kerahasiaan informasi kesehatan pasien adalah beban tanggung jawab lain yang dipikulnya.
Keempat: integritas dokter dalam aspek kejujuran, termasuk di antaranya bebas kepentingan. Oleh karena itu dokter bahkan tidak berhak untuk menghakimi, ataupun bertindak sebagai hakim bagi pasien.
Kelima: profesi dokter juga terkait nilai-nilai dalam asosiasi profesi kedokteran, sehingga ranah keprofesian berkaitan dengan etika dan moral serta kapasitas maupun kompetensi teknis, sebaikna diselesaikan diteritori tersebut.
Sekurangnya, kelima alasan itu yang membuat seorang dokter dalam konteks pelayanan medis bagi pasien, kemudian terikat dengan nilai profesionalisme pekerjaannya. Sebaiknya, kita berbaik sangka dalam melihat fakta, sebelum masuk kedalam tuduhan kesalahan.
Pemufakatan jahat, ataupun persekongkolan dokter dalam sebuah kasus, berada di ranah yang berbeda dan jelas dapat dipidanakan. Tapi tentu harus dipastikan benar frame-nya, apakah kelalaian? Ataukah sebuah kesalahan tidak disengaja, atau bahkan kesalahan yang direkayasa?
Mari Kita Diagnosa
Pernahkah Anda ke sebuah institusi kesehatan? Pernah datang tapi ditahan oleh pihak security rumah sakit, karena belum jam besuk? Apa maknanya?
Besuk adalah serapan bezoek-Belanda, berarti jam kunjung. Dan pembatasan jam kunjungan terhadap pasien adalah langkah yang ditempuh oleh dokter dalam pertimbangan medisnya, yang kemudian dibuat dalam aturan institusi kesehatan, sebagai waktu istirahat bagi pasien untuk membantu serta mendukung percepatan proses perbaikan kondisi kesehatan.
Apakah hal ini dapat dikatakan menghalang-halangi kepentingan para pihak yang ingin berkunjung? Atau justru memberikan ruang dan hak bagi pasien untuk mencapai kondisi prima dalam proses penyembuhan? Tergantung Anda melihatnya, tetapi hal itu adalah aturan bakunya.
Dalam hal penanganan pasien, maka pasien memiliki hak istimewa dalam mendapatkan pelayanan bagi kesembuhannya. Atas alasan permintaan pribadi, bahkan diluar kalkulasi medis, pasien berhak memiliki waktu bagi dirinya sendiri. Tetapi hal ini bukan bersifat absolut, karena untuk kasus yang berkaitan dengan penegakan hukum, maka batasan itu dapat dilanggar.
Dengan demikian, meski perintah dokter dan permintaan individu pasien, jikalau dipergunakan sebagai alasan maupun sarana untuk menghindar dari tanggung jawab hukum, bahkan bisa dipatahkan oleh prosedur penegakan hukum itu sendiri. Dititik ini, ranah hukum berkuasa dan mengambil peran.
Jadi, sekali lagi penetapan tersangka bagi seorang dokter untuk hal yang tidak berkaitan dengan aspek medisnya, tentu harus dibuktikan secara sempurna dan meyakinkan. Jangan sampai situasi ini justru semakin mencoreng profesi tenaga kesehatan, yang sedang berupaya meningkatkan derajat kualitas kesehatan negeri ini.
Kalaulah diasumsikan pengacaranya koruptor adalah koruptor, lalu dokter koruptor juga koruptor, maka seluruh sendi kehidupan kita semua koruptor. Karena kita hidup dalam lingkaran korupsi yang tidak berkesudahan, dan korupsi adalah penyakit terbesar bangsa ini. Berpikirlah jernih, "janganlah membakar lumbung, untuk memburu tikus!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H