Mohon tunggu...
dr. Ayu Deni Pramita
dr. Ayu Deni Pramita Mohon Tunggu... Dokter - Suka menulis tentang kesehatan, investasi dan budaya

Seorang dokter sederhana berasal dari Bali yang ingin berbagi ilmu dan pengalaman melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Rasa Minder, Apakah Hal yang Wajar Menurut Teori Psikologi?

6 Juni 2020   19:32 Diperbarui: 7 Juni 2020   13:42 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh John Hain dari Pixabay

Setelah saya membaca bukunya Ichiro Kishimi "The Courage To Be Disliked", saya gambarkan sebuah ilustrasi.

Riko adalah seorang anak laki-laki yang sudah lulus SMA 3 tahun yang lalu, memiliki keluarga lengkap, ayah sebagai buruh harian, ibu penjual gorengan keliling, dan adik perempuan masih kelas 4 SD. Tinggal di rumah sederhana dekat sawah dengan ekonomi pas-pasan, Riko biasanya membantu ibunya berjualan kadang jaga rumah. 

Suatu hari ada undangan reunian oleh temannya. Riko berpikir keras. Seakan ragu untuk hadir. Akhirnya ia pun datang untuk menemui teman-temannya.

Saat acara mulai, Riko melihat dan mendengar cerita teman-temannya asyik tawa tentang perjalanan kuliah, pekerjaan, bisnis, mobil baru, berbagai investasi oleh teman-temannya.

Mendengar cerita itu, membuat dia minder dan langsung pergi meninggalkan acara yang belum selesai. Nah, perasaan minder inilah yang disebut Perasaan Inferior. 

Perasaan inferior, perasaan yang tidak punya percaya diri, merasa tertinggal, merasa tak ternilai dibandingkan dengan yang lain adalah perasaan atau reaksi yang normal. Di sisi lain, bisa juga berdampak positif.

Misalkan, Riko tidak mau menerima keadaan bahwa dia adalah yang paling tertinggal dibandingkan teman-temannya, maka dia akan berusaha untuk lebih maju, mulai belajar dengan mencari beasiswa kuliah, ikut private class atau belajar dengan teman-teman yang berpengalaman, mulai bekerja giat untuk menambah modal usaha, memulai bisnis kecil-kecilan, reaksi inilah yang disebut encouragement (dorongan semangat) dalam teori psikologi Adler.

Sebaliknya, andai Riko menganggap dirinya benar-benar tidak mampu dan berpikir, "Wajarlah mereka lebih sukses, lebih kaya, berpenampilan gagah dariku, ya karena mereka sudah dikuliahkan oleh orangtuanya, dikasi modal usaha, sedangkan diriku lulusan SMA masih bantu jualan gorengan, orangtua ekonomi pas-pasan. Jadi, aku tidak perlu bermuluk-muluk untuk bermimpi, karena aku menyadari kondisiku seperti ini dan tidak akan pernah sukses."

Reaksi minder yang berlebihan disertai frustasi bahwa sudah tidak mampu lagi untuk berbuat lebih baik, ini dinamakan perasaan inferior yang berdampak negatif, atau biasa disebut Kompleks Inferior. 

Ada kalanya suatu fase di mana Riko ingin menyembunyikan kegagalan dan kemalangan dirinya di depan temannya, dia menampakan superiornya dengan bercerita bahwa dia memiliki bisnis besar dengan puluhan gerai, punya koneksi orang-orang ternama, membeli barang branded seakan membanggakan dirinya secara berlebihan. Keadaan inilah yang disebut Kompleks Superior.

Dari ilustrasi itu, bisa disimpulkan bahwa rasa minder atau kita sebut kondisi inferior tidak hanya dari kekurangan dari materi dan karier, tapi dari fisik juga.

Rasa minder adalah hal wajar. Namun menjadi tak wajar jika berubah menjadi kompleks inferior, atau bahkan kompleks superior.

Adapun cara yang paling sehat mengobati perasaan inferior atau rasa minder:

1. Menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya
2. Bekerja keraslah untuk memiliki potensi dan prestasi
3. Lakukan pengambangan diri dan skill

Akan tetapi, jika seseorang tidak dilengkapi dengan keberanian maka orang itu akan terjerumus kompleks inferior.

Kompleks inferior ini bisa juga berkembang menjadi kondisi khusus mental lainnya.

Semisal, ketika seseorang menderita kompleks inferior yang tidak memiliki keberanian yang kuat untuk melakukan perubahan yang baik dan tidak mau menerima "kegagalan dirinya", di saat titik itu dia akan berupaya untuk menebusnya dengan cara yang berbeda dan mencari jalan keluar yang lebih mudah, yakni dengan berlagak seakan-akan lebih superior.

Dia akan menikmati suasana superior yang semu, seperti dia adalah orang spesial, memiliki koneksi orang terkenal dan terkaya, memiliki prestasi yang tiada tanding, memiliki kekayaan yang lebih dibanding temannya, dan lain sebagainya.

Di lingkungan kita pun bisa ditemui superior semu. Ketika ada orang yang terlalu membanggakan dirinya, kekayaannya, kehebatannya, dan prestasinya yang paling bersinar di masa lalu, maka dikatakan mereka termasuk kompleks superior.

Mereka yang terlalu membanggakan berlebihan sebenarnya tidak memiliki keyakinan terhadap diri sendiri dan menyembunyikan perasaan inferiornya.

Ada banyak orang menginginkan sebagai "mahluk spesial"  bahkan saat mereka mengalami penderitaan mereka ungkapkan berlebihan bahwa mereka sangatlah lemah.

Sikap ini memancing agar orang-orang merasa sangat kasihan dan khawatir. Rasa khawatir terhadapnya akan semakin membuat sebuah kebiasaan untuk mencari belas kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun