Untuk menghadapi tantangan transfer pricing, berbagai rekomendasi kebijakan perlu dipertimbangkan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Pertama, diperlukan penguatan kapasitas institusi perpajakan, baik dalam aspek sumber daya manusia, teknologi informasi, maupun akses terhadap data pembanding global. Pengetahuan mendalam tentang sektor industri dan kemampuan analisis ekonomi fungsional sangat penting untuk menguji kewajaran transaksi afiliasi.
Kedua, perlu mendorong transparansi yang lebih besar melalui kerja sama antarnegara. Program Automatic Exchange of Information (AEOI) dan kerangka Inclusive Framework OECD harus dioptimalkan agar otoritas pajak negara berkembang dapat memperoleh informasi lintas batas yang biasanya hanya dimiliki oleh negara maju.
Ketiga, revisi kebijakan insentif dan pajak harus dilakukan secara selektif dan berdasarkan asas cost-benefit. Beberapa perusahaan multinasional menggunakan celah insentif fiskal untuk memperkuat skema transfer pricing, seperti penempatan intellectual property (IP) di negara dengan pajak rendah.
Dari sisi hukum, penguatan asas substance over form harus diperjelas dalam regulasi nasional. Penilaian terhadap kontribusi nyata masing-masing entitas dalam grup, dibanding hanya struktur kontraktual, menjadi landasan bagi audit dan koreksi TP yang adil. Pendekatan ini juga sejalan dengan semangat OECD dan G20 dalam mendorong keadilan fiskal global.
Akademisi memiliki peran penting dalam membangun diskursus kritis terhadap TP. Melalui riset interdisipliner, dosen dan mahasiswa dapat mengkaji TP dari perspektif ekonomi, hukum, etika, bahkan filsafat. Hal ini akan memperkaya cara pandang publik dan pembuat kebijakan dalam merancang sistem perpajakan yang adil.
13. Etika, Tanggung Jawab Sosial, dan Masa Depan TP
Praktik TP pada dasarnya tidak ilegal selama mengikuti prinsip ALP dan dokumentasi yang sesuai. Namun demikian, tantangan terbesar bukanlah legalitas, melainkan legitimasi etis dari praktik tersebut. Apakah suatu perusahaan sah secara hukum tetapi tetap menghindari kontribusi kepada negara tempat ia memperoleh pendapatan besar dapat dianggap bertanggung jawab secara sosial?
Pandangan seperti ini menuntut adanya tanggung jawab sosial korporasi (CSR) yang lebih luas, termasuk dalam aspek fiskal. Pajak bukan hanya beban yang harus diminimalkan, melainkan kontribusi terhadap keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk menyelaraskan strategi TP-nya dengan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Wacana kritis terhadap TP bukanlah upaya untuk menolak globalisasi atau efisiensi bisnis, melainkan ajakan untuk menyeimbangkannya dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. TP etis adalah jembatan antara strategi korporasi dan tanggung jawab kolektif sebagai bagian dari warga dunia.
14. Kesimpulan
Transfer Pricing bukanlah sekadar praktik akuntansi atau hukum pajak. Ia adalah gejala eksistensial, epistemik, dan aksiologis dari struktur ekonomi global. Wacana kritis terhadap TP menunjukkan bahwa praktik ini dapat menjadi alat efisiensi dan transparansi jika digunakan secara adil dan etis. Namun, TP juga dapat menjadi instrumen dominasi dan ketidakadilan jika disalahgunakan.