Namun, mari kita renungkan sejenak. Ketika masyarakat lebih rela menghabiskan ratusan ribu untuk euforia konser dibanding membeli protein hewani untuk anak-anaknya, kita sedang menghadapi masalah yang lebih dalam dari sekadar Fenomena Rojali: ketimpangan konsumsi dan persepsi ilusi kemakmuran.
Epilog
Fenomena Rojali, Rohana, dan Robeli kini seperti trio pop budaya ekonomi. Mereka hadir dalam setiap diskusi ekonomi dan bisnis, namun menyimpan ironi: mereka bukan hanya tentang beli atau tidak beli, tapi tentang narasi besar antara ekspektasi dan realitas. Seolah-olah cukup dengan membuat istilah baru, maka daya beli pun kembali. Seolah-olah menciptakan makna baru adalah solusi dari persoalan struktural.
Barangkali, yang kita butuhkan bukan sekadar narasi optimisme, tapi keberanian untuk menyentuh akar persoalan: ketimpangan distribusi, penguatan UMKM, stabilitas harga pangan, dan kualitas lapangan kerja.
Sampai saat itu tiba, izinkan Fenomena Rojali dan Rohana tetap berseliweran di mal, sembari kita berharap Robeli bukan hanya jadi maskot propaganda ekonomi, tapi benar-benar representasi masyarakat yang mampu membeli bukan karena promo, tapi karena kesejahteraan yang nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI