Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan, Politik dan Keterbukaan Informasi Publik

Akademisi dan aktivis keterbukaan informasi publik. Tenaga Ahli Komisi Informasi (KI) Prov Jabar, mantan Komisioner KPU Kab Bandung dan KI Prov Jabar. Alumni IAIN Bandung dan S2 IKom Unpad ini juga seorang mediator bersertifikat, legal drafter dan penulis di media lokal dan nasional. Aktif di ICMI, Muhammadiyah, dan 'Aisyiyah Jabar. Aktifis Persma "Suaka" 1993-1999. Kini sedang menempuh S3 SAA Prodi Media dan Agama di UIN SGD Bandung. Menulis sebagai bentuk advokasi literasi kritis terhadap amnesia sosial, kontrol publik, dan komitmen terhadap transparansi, partisipasi publik, dan demokrasi yang substantif.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Fenomena Rojali,Rohana dan Robeli: Konsumen di Tengah Lipstick Index dan Panggung Ilusi Ekonomi

1 Agustus 2025   14:30 Diperbarui: 1 Agustus 2025   14:11 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena Rojali  i Mal (Sumber: KOMPAS.com/Lidia Pratama Febrian )

Namun, mari kita renungkan sejenak. Ketika masyarakat lebih rela menghabiskan ratusan ribu untuk euforia konser dibanding membeli protein hewani untuk anak-anaknya, kita sedang menghadapi masalah yang lebih dalam dari sekadar Fenomena Rojali: ketimpangan konsumsi dan persepsi ilusi kemakmuran.

Epilog

Fenomena Rojali, Rohana, dan Robeli kini seperti trio pop budaya ekonomi. Mereka hadir dalam setiap diskusi ekonomi dan bisnis, namun menyimpan ironi: mereka bukan hanya tentang beli atau tidak beli, tapi tentang narasi besar antara ekspektasi dan realitas. Seolah-olah cukup dengan membuat istilah baru, maka daya beli pun kembali. Seolah-olah menciptakan makna baru adalah solusi dari persoalan struktural.

Barangkali, yang kita butuhkan bukan sekadar narasi optimisme, tapi keberanian untuk menyentuh akar persoalan: ketimpangan distribusi, penguatan UMKM, stabilitas harga pangan, dan kualitas lapangan kerja.

Sampai saat itu tiba, izinkan Fenomena Rojali dan Rohana tetap berseliweran di mal, sembari kita berharap Robeli bukan hanya jadi maskot propaganda ekonomi, tapi benar-benar representasi masyarakat yang mampu membeli bukan karena promo, tapi karena kesejahteraan yang nyata.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun