Di zaman ketika integritas mudah ditukar dengan kekuasaan, dan kawan seperjuangan berubah jadi narapidana karena berbeda arah politik, kita butuh lebih dari sekadar pemimpin. Kita butuh pengawal nurani publik. Kita butuh pemimpin yang tak meninggalkan barisan---pemimpin otentik, bukan pemimpin kosmetik.
Ada hal cukup menarik ketika saya mencermati prosesi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Jum'at, 18 Juli 2025. Rombongan datang sebagai saksi moral atas peristiwa yang mungkin akan menjadi catatan kelam atau terang dalam sejarah politik dan hukum bangsa. Hari itu, vonis terhadap Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dibacakan. Tapi bukan sekadar vonis yang menjadi perhatian saya. Yang jauh lebih menyentuh adalah bagaimana seorang sahabat, seorang pemimpin, memilih untuk tidak meninggalkan barisannya.
Dialah Anies Baswedan.
Ketika petugas keamanan membatasi jumlah orang yang boleh masuk ke area pengadilan, Anies dipersilakan masuk lebih dulu. Tapi ia menolak. Ia menunggu di depan gerbang, berdiri di balik pagar bersama kami, rakyat biasa. Tidak ada drama. Tidak ada kamera diarahkan. Ia hanya berdiri---seperti biasa---mengawal, memastikan, bahwa tidak ada satu pun dari kami yang tercecer. Barisan harus masuk bersama. Tidak ada keistimewaan. Tidak ada "Gue duluan, yang lain nanti."
Itulah kepemimpinan. Bukan soal siapa lebih dulu sampai, tapi siapa yang tidak membiarkan yang lain tertinggal.
Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara karena kasus impor gula kristal mentah. Menurut hakim, kebijakan Tom menyebabkan kerugian negara hampir Rp 195 miliar. Ironisnya, dalam putusan yang sama disebutkan bahwa Tom tidak menikmati hasil korupsi, bersikap kooperatif, dan sopan dalam persidangan. Sebuah konstruksi vonis yang rasanya lebih bersifat administratif daripada kriminal---sebuah "kesalahan kebijakan" yang dialamatkan sebagai kejahatan pidana.
Namun, yang lebih mencengangkan adalah kecepatan transformasi dari narapidana ke figur "dimaafkan". Hanya beberapa hari setelah vonis diketuk, Presiden Prabowo mengajukan abolisi untuk Tom. DPR menyetujui. Dan hari ini, Tom mungkin akan menghirup udara bebas---bukan karena terbukti tak bersalah, melainkan karena diampuni negara. Bukankah ini semacam absolution politik yang dipoles dengan keperluan rekonsiliasi nasional menjelang 17 Agustus?
Jadi pertanyaannya:
Mengapa Tom bisa dapat abolisi, sementara banyak tahanan lain bahkan tak punya pengacara memadai?
Apakah hukum kita punya hati, atau hanya berpihak pada mereka yang dekat dengan kekuasaan?
Di sinilah saya ingin menegaskan, betapa pentingnya kehadiran seorang pemimpin yang otentik---bukan pemimpin kosmetik.
Pemimpin otentik hadir, mendampingi, berbicara, dan menanggung bersama. Seperti Anies saat menghadiri sidang Tom. Ia tidak menghindar. Ia tidak mengatakan, "Saya tidak tahu, kenapa tanya saya?". Ia tidak bersembunyi di balik 'privilege' atau membiarkan teman seperjuangan dipenjarakan hanya karena kini berada di perahu politik yang berbeda.
Berbeda dengan pemimpin kosmetik:
Yang hari ini tersenyum bersama, besok menusuk diam-diam.
Yang menjual retorika, tapi nihil empati.
Yang menyulap hukum jadi alat represi, lalu berdalih "ini urusan aparat penegak hukum, bukan saya."
Bukankah kita pernah menyaksikan kawan seperjuangan dipenjarakan karena berbeda pilihan politik? Dipanggil, diperiksa, diadili---lalu dilempar ke balik jeruji dengan pasal-pasal yang mendadak muncul seolah "tiba-tiba ditemukan"?