Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tekstur Mantra Nusa Putu Bonuz Sudiana

8 Desember 2016   13:59 Diperbarui: 8 Desember 2016   14:51 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mantra Angin, (2014), 195 x 195 Cm, Mixed media on canvas. (Foto dari seniman)

Nusa Penida masih terlihat kering gersang kemarau panjang. Sekawanan burung sesapi terbang melayang di atas pantai merindukan datangnya hujan. Suaranya sesekali melengking putus-putus, sesekali hilang. Sepertinya burung itu mengadakan ritual memanggil hujan. Air bagi kebanyakan orang di Nusa Penida adalah harta mahal, diperoleh dari berkah langit berupa butiran-butiran air hujan.

Kemarau delapan bulan seperti mencekam, puluhan ribu hektar tegalan yang kerontang hanya mengandalkan tadah hujan, kering bagai padang pasir kecoklatan. Anak-anak berjalan telanjang kaki di tengah terik matahari, membawa berbagai wadah berisi air yang ia dapatkan dari cubang, tanah yang berlubang.

Pengalaman masa lalu masih melekat bagi seorang bocah Nusa yang ditinggal kedua orang tua transmigrasi ke Sumbawa, berjuang hidup bersama neneknya, lengket dengan batu cadas yang keras, dinding Pantai Nusa Penida. Alam telah menempa ia menjadi tangguh, dan selalu ia jadikan guru dalam pitutur laku hidup. Baginya alam Nusa Penida adalah lontar berisi mantra-mantra yang telah ia hafalkan dan terus lafalkan. Kini bocah itu telah tumbuh dewasa menjadi perupa, berkiprah diluar pulaunya pada ranah seni rupa.

Rabu Kajeng, Sasih Kasanga, saya mengunjungi studio seni Putu Sudiana (42), biasa dipanggil Bonuz di Desa Batu Bulan, Gianyar. Studio nyaman dengan benda-benda seni yang bersandar pada dinding maupun bersimpuh diatas meja dan rak menyapa kehadiran saya. Batu-batu yang dibiarkan telanjang disengat matahari di halaman studio seolah menjadi penegas bahwa saya berada di studio seniman asal Nusa.

Sebelum memulai pembicaraan seni rupa, saya sengaja mengajak Bonuz bicara tentang Nusa Penida. Entahlah kenapa harus berbincang tentang Nusa Penida. Ini saya anggap penting karena Bonuz selalu membicarakan Nusa  (Nusa Penida) sebagai semangat berkeseniannya. Bonuz akhir-akhir ini memang sering pulang ke kampung halamannya, ini juga berkaitan dengan proyek seni rupanya.

Putu Bonuz Sudina (foto koleksi seniman)
Putu Bonuz Sudina (foto koleksi seniman)
Lukisan abstrak adalah pilihan gaya yang ia tekuni. Deretan karya yang dipajang di dinding studionya merangsang mata saya pada sebuah hakekat proses penciptaan. Bonuz menyertakan fenomena rahasia alam. Saya masih merasa samar seperti di dalam kabut untuk memulai pembicaraan tentang karyanya terhadap nilai-nilai kekuatan alam Nusa di dalamnya. Ini sebuah rujukan yang tidak ngae-ngae (dibuat-buat) bahwa konsep berkaryanya memang dimulai sejak awal penciptaan telah ia siapkan.

Salah satu karya yang sedang saya bicarakan adalah lukisan yang berjudul Mantra Angin, lukisan ini lahir dari sebuah kesuburan  wawasannya mengamati alam Nusa secara spiritual. Caranya membaca angin, pergerakan dan bentukan yang terjadi sesungguhnya dikenadilkan oleh realitas bawah sadarnya.

Sepintas memang terlihat sangat magis begitu mendengar kata mantra, apalagi mantra angin. Bonus sendiri membuat karya selalu ia bingkai dalam seri, dan seri itu adalah satu kesatuan dari karya-karya lainnya. Mantra angina adalah bagian dari seri Mantra Nusa yang terdiri dari tujuh karya (sapta mantra) yaitu Mantra Angin, Mantra Karang, Mantra Tanah, Mantra Air, Mantra Gunung, Mantra Akar, dan Mantra Daun.

Mantra Angin adalah salah satu  karya yang berisikan kisah peristiwa senggama semesta, peristiwa penyebab hujan tiba.  Bonuz memang menempatkan senggama semesta sebagai upaya menampilkan kekuatan filosofi tentang kejadian hujan akibat bertemunya langit dan bumi (maskulin dan feminim), bapak akasa dan ibu pertiwi terjadi, serta lingga yoni yang menjadi symbol proses asal muasal. Saya mulai merenung, bahwa saya sedang membahas kekuatan energi. Sebuah pembicaraan energi semesta yang dipresentasikan oleh angin, digerakkan menjadi mantra, mengirimkan tanda-tanda bahwa proses senggama itu telah terjadi, dan hujan bagi kerinduan kemarau telah datang.

Pada karya Mantra Angin, saya melihat dominasi warna hitam, ada goresan garis-garis tegas membentuk gambaran lingga yoni, dan garis merah menyentuh penyatuan lingga dan yoni. Jelaslah kiranya saya memfokuskan pembicaraan pada lingga yoni. Saya mulai mencermati bahwa lukisan ini mengandung pandangan hidup yang sangat realitas, tentang sebuah proses penciptaan yang terjadi. Saya semakin hanyut, larut ikut membayangkan bagaimana proses berkasih-kasihnya antara angkasa dan bumi.

Dalam proses penciptaan menurut Bonuz, perasaan dan kenangan masa lalu yang melekat menjadi pangkal utama. Hujan baginya adalah berkah, dan sebuah proses permulaan tumbuh dan tandur dimulai. Proses itu sangat menyentuh inti perasaan dan sangat ia rasakan.  Kata Bonuz, “ Saya melihat proses itu terjadi, kilatan petir, hawa dingin yang dibawa angin, sudah dimana dan dari mana arah hujan itu akan datang”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun