Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sosok Rupa Niskala Batu-batu Arka

30 Juni 2016   01:09 Diperbarui: 19 September 2017   22:01 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, karya rupa Arka Dwipayana kerap dihubung-hubungkan dengan persoalan batu. Perupa kelahiran Karangasem, Bali Timur yang kini menetap di kampung kelahirannya Desa Ngis, di kaki Gunung Lempuyang, tak henti-hentinya mengeksplorasi batu-batu. Segeralah dapat saya pahami mengapa sebagian karyanya dikaitkan dengan batu-batu sebagai latar belakang berproses. Arka memang tak banyak bicara, ia memasuki wilayah keras, namun penuh kesunyian dan misteri.

Arka adalah salah satu perupa yang menekuni jalur abstrak sebagai bentuk pencapaian. Karya-karya Arka sangat dekat dengan pengalaman batin dan hatinya. Ia tidak memindahkan suasana batin, atau kembara jiwa menjadi karya, namun justru pencapaian kebebasan dari suasana batinlah yang menghantarkan ke dalam proses berkaryanya.

Stone series
Stone series
Saya sendiri yang mengikuti karya serie Stone belum berani secara tegas mengatakan bahwa batu adalah hakekat penemuan selama ia kembali ke timur yaitu kampung halamannya. Saya hanya bisa mengaitkan hubungan emosional Arka dengan tanah kelahiran yang berbatu. Apakah Arka terobsesi oleh batu-batu yang selama ini menjadi artefak perenungan?. Jikalau ini benar, maka ada kesan bahwa batu adalah bentuk kegelisahan yang dieksplorasi menjadi unsur rupa.

Sejumlah karya seri Stone dari tiga dimensi sesunggunya bisa dijadikan rujukan sebagai bentuk-bentuk eksplorasi usur rupanya. Dari eksplorasi itu ia hadirkan kembali menjadi bentuk-bentuk baru. Ada kencenderungan bahwa Arka memang melepaskan konteks pembacaan seperti pada karya-karya di atas kanvasnya. Pada eksplorasi unsur rupa di batu ia seperti menemukan jalan untuk mengikuti garis-garis, lekukan, celah maupun permukaan batu dari halus sampai kasar.

Stone series
Stone series
Pada beberapa karya seri stone, jelas nampak bahwa ia meletakkan abstraksi figur-figur sebagai penawaran gagasan mengenai sosok yang hidup. Pengalaman dengan sosok-sosok itu amatlah penting, karena wilayah ini yang akan merubah dari bicara kata menjadi rupa. Kedengarannya memang seperti menembus dimensi batas kewajaran atau kenormalan. Saya membayangkan, bahwa beberapa batu itu adalah hasil percakapannya dengan sesuatu yang tidak terlihat, dan hanya senimannya yang tahu benar sosok siapa yang telah hadir. Bila mempertanyakan kembali mengenai abstraksi figur-figur itu pada audience tentu tidak akan menemukan jalan terang, karena ini adalah wilayah merasakan dimana pencipta karya memberikan kebebasan berintepretasi.

Rasanya saya bukan mempertimbangkan kembali, bahwa kekuatan karya Arka bukan terletak pada makna atau pesan yang hendak disampaikan. Karya Arka adalah rekaman hidup dirinya atas sensitivitas terhadap Bali, tanah kelahiran dan tempat tinggalnya. Keunggulan karyanya terjadi karena percakapan diantara ruang nyata dan tidak nyata. Itulah sebabnya karya Arka sangat terasa sebagai abstraksi hidup yang bebas bergerak mencari dan menemukan ruang dengan sendirinya.


Arka Dwipayana
Arka Dwipayana
Dalam suatu proses penciptaan, sebetulnya saya harus mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Arka ada kemiripan dengan seni “BRUT” Ni Tanjung, dari Budakeling, sama-sama Bali Timur, Karangasem. Pada karya Ni Tanjung, beragam sosok rupa manusia yang sekilas seakan primitif juga hadir diatas permukaan batu-batu. Kebanyakan sosok rupa pada batu-batu di karya Ni Tanjung dilukis dengan warna putih, dan yang lainnya diukir ala kadarnya.

Bila melihat pengkayaan warna dari karya stone serie Arka, maka jelas dari proses penciptaan ada yang berbeda. Sedangkan bila prosesnya dikaitkan dengan penggalian dunia bawah sadar sebagai sumber penciptaan, rasanya hal ini yang mempertemukan pandangan saya terhadap dua perupa ini. Sudah jelas kiranya seperti Ni Tanjung, Arka tidak ingin berjarak dari kesadaran kulturalnya. Batu-batu dapat diduga sebagai tempat dan kekuatan kepercayaan Hindu Bali yang telah ada sebelum dirinya dilahirkan, dan sosok rupa manusia atau abstraksi figur-figur itu tidak lain adalah kehadiran para leluhur.

Seni rupa batu Arka
Seni rupa batu Arka
Sebagai perupa Arka tidak pernah hirau dengan selera pasar, baginya berkarya adalah jalan hidup berkeseniannya. Melalui seri Stone ia akan terus bereksplorasi dalam berbagai bidang, baik di kanvas maupun lainnya. Memang tak mudah untuk mempengaruhi kolektor yang selama ini sudah terpatri dengan ukuran atau persepsi selera pasar yang cenderung sama dengan di Bandung, Jogja, Jakarta bahkan Thailand, Malaysia maupun China.

Bagaimanapun, penilaian terhadap karya “Stone” sangat membuka pemikiran saya tentang  perkembangan seni rupa kontemporer Bali yang hingga kini masih banyak terpukau pada permasalahan estetika, serta pengaruh-pengaruh selera pasar sehingga menjauhkan diri dari kesan sensitivitas ke”Bali”annya. Maka tidaklah berlebihan, bila saya menyebut Arka adalah salah satu dari sedikit perupa Bali yang karya-karyanya masih memungkinkan untuk diperbincangkan kembali, bahwa seni rupa kontemporer yang memiliki identitas Bali semestinya memang berangkat dan berakar dari “Bali”.

 

Yudha Bantono, Art writer tinggal di Denpasar Bali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun