Perbankan telah menjadi salah satu pilar utama dalam ekonomi modern, tetapi wajahnya telah berubah secara dramatis dari model konvensional ke era digital. Dulu, perbankan konvensional identik dengan cabang fisik, antrian panjang, dan transaksi tatap muka yang memerlukan dokumen fisik. Namun, dengan kemajuan teknologi, perbankan kini bergeser ke platform digital yang cepat, efisien, dan mudah diakses. Perubahan ini tidak hanya dipengaruhi oleh inovasi teknologi seperti internet dan smartphone, tetapi juga oleh preferensi generasi masa kini, seperti Millennials (lahir 1981--1996) dan Gen Z (lahir 1997--2012), yang tumbuh dengan gadget dan mengharapkan segala sesuatu serba instan.
Generasi ini, yang sering disebut sebagai digital natives, telah mendorong transformasi besar dalam dunia finansial karena mereka lebih memilih layanan yang fleksibel, aman, dan terintegrasi dengan gaya hidup sehari-hari. Menurut laporan Bank for International Settlements (BIS) tahun 2022, lebih dari 70% transaksi perbankan global kini dilakukan secara digital. Di Indonesia, Bank Indonesia mencatat bahwa pengguna mobile banking mencapai 150 juta orang pada 2023, menunjukkan tingkat adopsi yang luar biasa pesat dalam waktu singkat.
Selain itu, tren ini juga dipengaruhi oleh faktor global seperti globalisasi dan pertumbuhan ekonomi digital, di mana negara-negara seperti China dan India telah menjadi pemimpin dengan platform seperti Alipay dan Paytm, yang mengintegrasikan perbankan dengan e-commerce sehari-hari. Kini, perbankan bukan lagi sekadar tempat menyimpan uang, tetapi telah berevolusi menjadi ekosistem keuangan digital yang dinamis. Pembahasan ini akan mengeksplorasi perubahan tersebut secara mendalam, mulai dari akar sejarahnya, manfaat, tantangan, hingga implikasi untuk generasi muda, termasuk dampak pada inklusi sosial dan perkembangan ekonomi berkelanjutan yang lebih luas.
Dari Konvensional ke Digital
Perbankan konvensional, yang dimulai sejak abad ke-17 dengan bank-bank Eropa seperti Bank of England, berfokus pada interaksi langsung antara nasabah dan teller. Sistem ini mengandalkan cabang fisik, buku tabungan, dan cek sebagai alat transaksi utama. Namun, model ini memiliki keterbatasan, seperti waktu operasional terbatas, biaya operasional tinggi, serta ketergantungan pada lokasi geografis.
Misalnya, di Indonesia, bank seperti Bank Negara Indonesia (BNI) awalnya hanya melayani melalui cabang-cabang di kota besar, yang menyulitkan akses di daerah pedesaan. Selain itu, sistem konvensional sering kali menghadapi masalah efisiensi, seperti proses verifikasi manual yang memakan waktu berhari-hari, dan risiko kehilangan dokumen fisik akibat bencana alam atau pencurian.
Transisi ke perbankan digital dimulai pada akhir abad ke-20 dengan munculnya internet banking pada 1990-an, yang memungkinkan transaksi online pertama kali dilakukan tanpa harus datang ke bank. Kemudian, revolusi smartphone di awal 2000-an mempercepat perubahan ini, dengan inovasi seperti NFC (Near Field Communication) untuk pembayaran tanpa kontak dan QR code untuk transaksi harian. Kini, perbankan digital mencakup berbagai inovasi seperti aplikasi mobile banking, e-wallet, fintech, dan teknologi blockchain.
Aplikasi seperti BCA Mobile dari Bank Central Asia atau OVO dari perusahaan fintech memungkinkan nasabah melakukan transfer, bayar tagihan, atau investasi hanya dalam hitungan detik. Menurut McKinsey, nilai transaksi digital di Asia Pasifik mencapai USD 1,5 triliun pada 2023, dengan Indonesia sebagai salah satu kontributor utama.
Generasi masa kini memainkan peran kunci dalam akselerasi ini, karena Millennials dan Gen Z, yang mewakili lebih dari 50% populasi global, jauh lebih nyaman dengan teknologi dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka melihat perbankan bukan hanya sebagai lembaga keuangan, melainkan sebagai bagian dari ekosistem digital yang lebih luas, seperti integrasi dengan media sosial atau e-commerce.
Sebuah survei oleh PwC pada 2022 menemukan bahwa 85% Gen Z di Asia lebih memilih aplikasi banking daripada kunjungan fisik. Perubahan ini juga semakin kuat akibat pandemi COVID-19, yang memaksa banyak orang beralih ke platform online untuk menghindari kontak fisik. Selain itu, pertumbuhan startup fintech di Asia Tenggara turut memicu perubahan besar ini, menciptakan ribuan lapangan kerja baru di bidang teknologi keuangan dan membuka peluang ekonomi digital yang lebih inklusif.
Digital untuk Generasi Masa Kini