Mohon tunggu...
Yulia Rahmawati
Yulia Rahmawati Mohon Tunggu... Penulis, Editor, Blogger, Peneliti

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jodoh Widia, Terpaksa atau Dipaksa

1 Mei 2011   19:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:11 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam semakin larut. Hewan malam semakin jelas terdengar. Widia yang sudah lama berbaring di atas ranjang belum juga memejamkan mata. Perkataan ibunya waktu pulang kampung selalu terngiang.

“Nak, kamu sudah menginjak usia berkepala tiga, teman-temanmu sudah punya anak, kapan kamu nikah?” Kata Bunda di suatu senja ketika mereka bercengkrama.

“Nanti kalau sudah ada jodohnya, Bun,” jawab Widia sambil senyum.

“Kamu itu ditanya serius malah cengengesan,” tegur Bunda.

“Ya harus gimana lagi Bun, Widia belum dapat jodohnya. Mungkin belum waktunya.”

“Belum waktunya gimana, usiamu itu lho dah 32 tahun, masa belum waktunya.” Bunda menghela napas. “Jangan terlalu tua menikah, nanti gimana anak-anakmu?”

“Bun, Widia mau menikah atas dasar saling mencintai. Nggak mau kalau nikah dipaksa atau terpaksa.” Suara Widia mulai terdengar tegang.

“Nggak dipaksa atau terpaksa, usiamu itu lho yang sudah memungkinkan untuk menikah,” suara Bunda mulai meninggi. “Kalau begitu, kamu cari sendiri dong calon suami.”

“Iya Bun,” kata Widia lirih. “Doain aja Bun, biar Widia cepet dapat jodoh,” kata Widia.

“Bunda selalu mendoakanmu, Nak… selalu…” kata Bunda sambil tersenyum.

***

Dalam kubangan kenangan, tak terasa tetes air mata berlinang di kedua pipi Widia. “Tuhaaaaan….,” lirih Widia diiringi tarikan napas panjang.

“Tuhan… hamba-Mu ini mohon petunjuk-Mu. Mudahkanlah jalan hamba menuju pernikahan, bimbinglah hamba bertemu dengan jodoh yang Engkau ridhoi. Tunjukkanlah pemuda yang dapat menjadi suami hamba dunia dan akhirat. Saling asih, asuh dan asah dalam mencintai-Mu. Hamba mohon petunjuk dan bimbingan-Mu, ya Rabb… Ya Allah, aku memohon petunjuk pilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon takdir-Mu dengan kekuasaan-Mu.”

Lirih do’a dengan jeritan hati yang berpusat pada Yang Maha Kuasa, membuat air mata Widia semakin mengalir deras.

Widia menghapus air mata dari pipinya dengan kedua tangan, sayup-sayup terdengar suara hape berbunyi. “Hallo…Assalamu’alaikum,” sapa Widia.

“Wa’alaikumussalam… Apa kabar Widia?” Terdengar suara yang sudah tidak asing lagi bagi Widia.

“Alhamdulillah baik Ka… Ada apa ya, kok tumben nelpon?”

“Ah nggak, hanya mau nanya kabar. Kita kan sudah lama tidak berkomunikasi.”

“Iya Ka…gimana kabar Kaka?” Widia balik bertanya.

“Alhamdulillah baik juga. O ya Widia, Sabtu besok ada acara nggak? Kita ketemuan yuk!”

“Boleh Ka, tapi tempatnya dekat kosanku ya…”

“Ok. Kamu kasih aja alamatnya lewat sms. Dah malem, selamat bobo ya…”

“Iya,” jawab Widia pendek.

Sambungan telepon sudah berhenti, tapi Widia masih menatap hapenya. Dengan heran dan tidak percaya Widia menatap nomor telepon yang menghubunginya tadi. Ya, Widia tidak percaya bahwa si penelepon adalah orang yang pernah dijodohkan kepadanya oleh temannya. Setelah dua bulan komunikasi lewat telepon dan sms, itu pun yang lebih banyak nge-sms Widia, lalu mereka ketemuan. Dengan perasaan campur aduk Widia bertemu orang tersebut. Meskipun tidak sesuai bayangan kriterianya, Widia berusaha menerimanya, dan benih-benih suka itu tumbuh seiring proses perkenalan lewat sms dan telepon.

Namun sayang, melalui teman yang menjodohkan mereka, pemuda itu memilih berteman saja. Karena ternyata, selain berkenalan dengan Widia, pemuda itu pun berkenalan dengan perempuan lain yang dikenalkan oleh keluarganya.

Walau kecewa, Widia pun menerima semua itu. Dia berusaha melanjutkan pencarian calon suami meski semangatnya berkurang tidak seperti sebelumnya. Pengabaian itu telah berbuah perasaan minder dan rendah diri pada Widia, padahal temannya sudah mengukuhkannya bahwa dia adalah perempuan istimewa.

Widia menatap nomor yang tertera di hape masih tak percaya. Dia sudah memupus usaha untuk mendekati lelaki itu, yang ternyata kata temannya dia lebih memilih perempuan pilihan keluarganya. Dalam segala perasaan itu, Widia memilih berdoa dan berharap untuk mendapatkan jodoh yang lebih baik dari orang tersebut dan yang terbaik baginya. Widia bertekad untuk membuat lelaki itu menyesal karena mengabaikannya, dan dia pun menampilkan potensi dan kreativitasnya untuk menunjukkan bahwa dia memang seorang perempuan istimewa.

Di saat Widia mulai melupakannya, kenapa lelaki itu kembali hadir? Pertanyaan itu pun Widia jawab dengan mengirim sms alamat tempat nanti mereka bertemu.

***

Tidak ada yang berubah. Dia masih seperti yang pertama dan terakhir mereka bertemu. Sosok pemuda kebapakan yang membuat Widia bingung kenapa dia merasa terpikat.

“Widia, kita sama-sama sudah dewasa. Walau ini baru kedua kalinya kita bertemu, maukah kau menikah denganku?” Tanya Diki, pemuda yang duduk di hadapannya.

“Bukankah sebelumnya Kaka memilih kita hanya berteman?” Tanya Widia penasaran.

“Ya, itu dulu. Tapi sekarang aku ingin menikahimu.”

“Kenapa?”

“Karena aku sudah waktunya menikah, dan adikku akan segera menikah. Orang tuaku ingin aku menikah sebelum adikku.”

“Kata Sita, Kaka sudah terpikat dengan pilihan keluarga Kaka, anaknya Pak Haji tetangga Kaka. Kenapa Kaka tidak memilih dia?” Tanya Widia tegas. “Maaf Ka, saya menanyakan semuanya sama Sita, dan dia menjelaskan semua alasan kenapa Kaka memilih saya hanya berteman saja,” kata Widia sambil tersenyum.

“Iya, nggak apa-apa,” kata Diki. “Seharusnya aku yang minta maaf, karena ketika proses berkenalan denganmu lewat sms dan telepon, aku dikenalkan keluarga dengan perempuan lain. Aku tertarik padanya, dan keluargaku pun merasa cocok dengan dia dan keluarganya. Makanya ketika kita bertemu, aku hanya penasaran dan itu hanya sekedar memenuhi janji dengan Sita yang sudah menjodohkan kita.”

“Lalu, kenapa tidak menikah dengan anaknya Pak Haji itu?” Tanya Widia tanpa ekspresi.

“Tidak.” Jawab Diki sambil menundukkan kepala. “Beberapa minggu lalu dia berkenalan dengan seorang pria, mereka jatuh cinta dan minggu depan akan menikah.”

“Ooooo…..” Kata Widya lirih. “Ka, pikirkan lagi ajakan pernikahan ini. Jangan sampai keputusan ini menjadi penyesalan dikemudian hari.”

“Maksudnya?”

“Saya melihat lamaran ini hanya sekedar pelampiasan dari kekecewaan Kaka yang ditinggaal nikah. Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, renungkan dan pikirkan matang-matang.”

“Sudah ku pikirkan matang-matang kok. Ini keputusanku setelah dalam seminggu ini merenung dan memikirkannya.” Diki menatap Widia, “Widia, bersediakah kau menikah denganku?”

Widia menatap Diki, lalu ia memalingkan pandangannya menatap orang-orang yang berlalu lalang dari balik dinding kaca restoran.

“Tuhan, tunjukkan hamba jodoh yang tepat dan terbaik menurut-Mu ya Rabb… Hamba tak ingin menikah terpaksa karena usia yang terus bertambah atau dipaksa karena keinginan sekitar yang melihat umur ini sudah banyak,” gumam Widia dalam lirih do’anya dalam hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun