Mohon tunggu...
Yoyo Sukmara
Yoyo Sukmara Mohon Tunggu... Penulis dan Guru SD di Jakarta

Proses menulis sebagai kegiatan daya tarik baca bagi murid di sekolah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Empati Menjadi Barang Langka

28 September 2025   06:51 Diperbarui: 27 September 2025   23:57 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di tengah derasnya arus modernisasi dan perkembangan teknologi, manusia semakin terhubung secara digital, tetapi ironisnya justru semakin jauh secara emosional. Empati, yang seharusnya menjadi jembatan untuk memahami perasaan orang lain, kini kerap terpinggirkan oleh egoisme, individualisme, serta kesibukan yang tak ada habisnya. Situasi ini membuat empati seolah menjadi barang langka, sesuatu yang mahal dan sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomena ini tampak jelas di berbagai ruang kehidupan. Di jalan raya, pengendara lebih sibuk berebut jalan daripada memberi kesempatan bagi yang lain. Di media sosial, banyak orang lebih senang menertawakan penderitaan sesama daripada memberi dukungan. Bahkan dalam lingkungan keluarga, sering kali anak atau orang tua merasa diabaikan karena perhatian tersedot oleh layar gawai. Semua ini menunjukkan betapa empati semakin tersisih oleh kecepatan hidup dan kepentingan pribadi.

Ketiadaan empati membawa dampak serius. Masyarakat menjadi mudah terpecah oleh perbedaan, konflik kecil membesar karena tidak ada yang mau mendengar, dan hubungan antarmanusia kehilangan kehangatannya. Padahal, empati adalah fondasi dari kerukunan, kerja sama, dan solidaritas. Tanpa empati, manusia hanya akan menjadi makhluk yang sibuk mengejar kepentingan sendiri, tanpa peduli bagaimana tindakannya melukai orang lain.

Namun, bukan berarti empati benar-benar hilang. Masih ada individu dan kelompok yang menunjukkan kepedulian nyata, entah melalui aksi sosial, dukungan terhadap korban bencana, atau sekadar menjadi pendengar yang baik. Hal ini membuktikan bahwa empati dapat dipelihara dan ditumbuhkan, asalkan ada kesadaran untuk melakukannya. Membiasakan diri mendengar tanpa menghakimi, menolong tanpa pamrih, serta menempatkan diri pada posisi orang lain adalah langkah-langkah kecil yang bisa menghidupkan kembali empati di tengah masyarakat.

Pada akhirnya, empati bukan sekadar kemampuan merasakan apa yang orang lain rasakan, tetapi juga keberanian untuk peduli di saat banyak orang memilih acuh. Jika empati terus dijaga, dunia akan terasa lebih manusiawi. Sebaliknya, jika dibiarkan lenyap, maka yang tersisa hanyalah keramaian tanpa kedekatan, interaksi tanpa makna, dan hidup yang hampa dari rasa kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun