Mohon tunggu...
Yovianus Toni
Yovianus Toni Mohon Tunggu... Konsultan - Iklim berubah, saya juga

Lihat, tandai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Susahnya Buang Air di Penampungan Pengungsian

3 November 2012   02:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:03 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13519072201808465718

Entah karena bencana alam ataupun konflik, lokasi atau kamp pengungsian adalah tempat paling aman bagi mereka yang selamat (survivors). Di lokasi ini, mereka menjalani kehidupan sehari-hari sambil menunggu situasi kembali kondusif untuk bisa pulang. Di dalam manajemen bencana, ini adalah bagian dari tahapan tanggap darurat (emergency response), sebuah tahapan di mana tindakan cepat diambil agar tidak ada korban lebih lanjut.

Bersyukur bahwa kita punya relawan Palang Merah Indonesia (PMI) di semua pelosok. Kita juga punya relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) dari Kementerian/Dinas Sosial, juga Badan Search and Rescue (SAR) yang sudah terlatih menangani situasi darurat bencana/konflik. Dan yang paling penting, kita juga sudah punya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Kejadian terakhir adalah konflik di Lampung Selatan di mana lebih dari 1.500 orang mengungsi di Sekolah Kepolisian Negara di Lampung. Semua media TV mainstream umumnya memuat berita tentang masalah konfliknya dan mungkin hanya TVRI yang mengangkat masalah sejumlah kesulitan yang dialami oleh pengungsi, terutama masalah air dan sanitasi. Di situ ditunjukan bagaimana orang antri di kamar mandi untuk buang air. Toiletnya sudah kurang, air pun tidak ada. Kemudian tampak relawan berseragam SAR membawa air dalam wadah 40 literan untuk sejumlah orang lanjut usia di depan toilet. Di sudut lain, seorang pemuda dengan 2 ember 10 literan juga sedang menunggu giliran menggunakan kamar mandi. Situasi ini sebenarnya terjadi di semua kejadian sesaat setelah terjadi bencana di Indonesia.

Sebenarnya di kalangan organisasi yang bekerja untuk bencana/konflik di seluruh dunia, sudah ada semacam panduan yang disebut Sphere Standards. Panduan ini juga sudah diadopsi oleh PMI dan BNPB dan juga sudah diterapkan di berbagai situasi. Standar ini dimaksudkan agar semua orang yang menjadi korban selamat dalam bencana tetap terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yang diatur adalah air dan sanitasi, makanan, tempat perlindungan, kebutuhan non pangan dan kesehatan.

Dari berbagai pengalaman saya ketika bekerja di lokasi bencana, soal makanan dan minum, tempat perlindungan dan kesehatan selalu dapat tercukupi dalam situasi sesulit apapun, apalagi ketika pengungsinya sudah terlokalisasi di satu tempat. Untuk makanan bahkan sering berlebih karena ada begitu banyaknya orang yang mau membantu. Dan setiap membantu, yang ada di pikiran kita adalah mie instant dan air mineral. Ada juga yang sampai mengirim nasi bungkus. Belum lagi kalau di lokasi pengungsian sudah ada dapur umum yang biasanya dikelola oleh Tagana atau PMI. Makanan pasti cukup.

Tenda untuk penampungan juga langsung didirikan begitu PMI, Tagana atau militer sampai ke lokasi. Kalau sudah ada fasilitas umum, tinggal dipakai. Tim dari Dinas Kesehatan juga bahkan langsung membuka klinik di lokasi.

Kebutuhan dasar yang paling sulit dipenuhi adalah air dan sanitasi. Memang relawan kita sudah terlatih untuk menyalurkan pangan dan tenda. Tetapi kelihatannya belum untuk air dan sanitasi.

Di dalam Standar Sphere diatur salah satunya:

  1. Kebutuhan air minimal 15 liter per orang per hari dengan pembagian begini: untuk minum 3 liter; untuk mandi, cuci, cebok 6 liter; masak 6 liter. (Sebagai catatan, dalam situasi normal kita butuh minimal 50 liter/hari). Setiap KK harus punya minimal 1 ember. Lama antrian di tempat pengambilan air tidak boleh lebih dari 15 menit, dan untuk mengisi ember 20 liter tidak boleh lebih dari 3 menit.
  2. Minimal 1 toilet untuk 20 orang. Toilet laki-laki dan perempuan terpisah dan diatur perbandingannya 3:1 untuk perempuan. Jarak toilet tidak lebih dari 50 meter dari tempat tinggal.

Dari sudut pengungsi jumlah itu terlalu sedikit. Jatah air 15 liter ini dianggap tidak manusiawi. Demikian juga kepada perempuan ditanyakan tentang berbagi toilet dengan 20 orang, karena katanya sangat menyiksa fisik, apalagi ketika pagi hari.

Tapi dari sudut pandang relawan jumlah itu terlalu besar untuk dipenuhi. Untuk kebutuhan air mungkin bisa ditangani, tapi berat untuk urusan toilet. Bisa dibayangkan untuk Lampung, relawan harus membangun 75 toilet. Belum lagi kalau membayangkan, selesai dibangun, baru dipakai 2 hari pengungsinya sudah kembali.

Bahkan pekerja kemanusiaan pun lebih memilih menghindari urusan air dan sanitasi. Kita belum pernah melihat ada sekelompok orang datang ke lokasi pengungsi terus membawa bantuan seember air kan? Lebih gampang mengambil urusan dapur umum dan kesehatan, atau mungkin membuka kelompok bermain dengan anak-anak.

Akhirnya pengungsilah yang harus mengalah. Di banyak kejadian bencana 1 toilet dipakai bersama hingga ratusan orang. Itu sebabnya dalam lokasi pengungsian, buang air di sembarang tempat tidak terhindarkan. Di balik pohon, di balik semak-semak, bahkan di pinggir kali. Bukan saja tidak higienis, situasinya sangat tidak nyaman bagi perempuan. Mereka mungkin sudah selamat dari bencana/konflik, tapi kesehatan mereka tidak terjamin di lokasi pengungsian. Dan itu kelihatannya situasi ini masih akan terus terjadi di setiap ada bencana.

Inilah yang harus dipikirkan oleh relawan BNPB, PMI dan Tagana, sudah banyak metode membuat toilet darurat yang cepat, praktis dan murah!!!

(Gambar dari: depositphotos.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun