Mohon tunggu...
Yosua Aji
Yosua Aji Mohon Tunggu... Penulis - Pendidik yang terus berjuang untuk mencintai baca tulis dan juga senang bermimpi

Menulis bisa menjadi salah satu ramuan mujarab bagi siapapun untuk menyembuhkan diri dari pedihnya hiruk pikuk dunia. Menulis bisa dari apa yang kamu amati, kemudian maknai itu dalam bentuk goresan digital yang kadang tak sempurna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendidikan ala Mesin dan ala Bebek

14 Mei 2021   12:58 Diperbarui: 14 Mei 2021   13:07 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Charlie Chaplin - Factory Scene| https://chaplinfilmbyfilm.wordpress.com/

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan secara akademik, melainkan juga  pendidikan yang membebaskan dan sekaligus mampu  memanusiakan manusia yang dididiknya. 

Mencerdaskan karena bisa menjadikan siapapun cerdas secara menyeluruh, baik sikap, lisan ,tulisan, fisik dan akhlaknya. 

Disebut membebaskan karena melalui pendidikan, seseorang  bisa lepas dari belenggu kebodohan, ketakutan dan belenggu ketertinggalan serta  ketidaktahuan dari dunia luar. 

Disebut memanusiakan manusia karena lewat pendidikan derajat manusia bisa diangkat serta  dan juga yang paling penting adalah mampu melihat manusia sebagai subyek yang harus diperhatikan, bukan sebagai obyek yang bebas dieksploitasi

Pendidikan hendaknya membuat siapapun menjadi lebih bijasaksana dan berakhlak, namun sayangnya sampai pada era yang dikatakan era revolusi industri 4.o ini kita masih sering menjumpai praktik pendidikan yang memasung manusia-manusia muda. 

Model pendidikan yang didominasi oleh pendidik yang hanya mengajarkan anak untuk mengiyakan apa yang diperintahkan guru ataupun orangtuanya masih sering kita jumpai disudut-sudut kelas di Indonesia. 

JP Maryanto: Terpenjara Luka Lama begitu menarik tatkala mengistilahkan fenomena ini dengan sebutan pendidikan yang memerkosa, ia mengatakan bahwa masih banyak dijumpai praktik pendidikan yang "memerkosa" anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia seperti yang orang tua atau gurunya inginkan yang mana jelas-jelas merugikan masa depan anak itu sendiri.

Penggambaran pak JP ini lantas mengingatkan saya dengan salah satu episode film ikonik dari Charlie Chaplin yang diproduksi tahun  1936 berjudul Factory Scene- Modern Times. 

Di sana Sang Tokoh digambarkan menjadi seorang buruh pabrik yang ditugasi untuk mengencangkan mur di plat baja dengan alat yang dimilikinya. Conveyor belt yang berisi ratusan plat yang datang kepadanya begitu masif dan sangat cepat berjalan, sehingga Charlie kesulitan untuk mengikuti ritme dan kecepatan mesin tersebut, beberapa kali dia coba dan gagal. Mandor pabrik pun menegurnya beberapa kali untuk bisa beradaptasi dengan kecepatan mesin tersebut. 

Charlie yang malang pun emosi sehingga ia memepercepat kerjanya hingga entah bagaimana carnya ia masuk ke dalam mesin tersebut. Voila! Laju mesin melambat sehingga Charlie bisa dengan "santai" mengerjakan pekerjaannya. Santai bukan dalam arti bermalas-malas, tetapi ia tetap produktif mengerjakan pekerjaannya dengan gaya yang dimilikinya.

Cerita tidak berakhir disini, produser masih menyisipkan pesan yang luar biasa, yakni bagaimana selepas jam kerja  nyatanya pola pikir pabrikan masih melekat pada Charlie. 

Ia menjadi sosok yang hanya fokus pada satu sisi kehidupan yakni: bekerja sesuai perintah dan bekerja sesuai pola.  Bila pembaca ingin melihat filmnya, silakan berselancar ke channel Charlie Chaplin.

Apa yang dilakonkan dalam film ini menarik perhatian saya karena begitu   menggambarkan pola pendidikan saat ini yang masih mendidik anak-anak dengan gaya mesin: sesuai pattern dan sesuai apa yang telah diprogramkan/diperintahkan dari atas, tidak peduli apakah itu dibutuhkan sekarang atau tidak! Pokoknya lakukan saja. 

Belum lagi bila kita berbicara hasil didik yang harus selalu berupa nilai angka untuk mengukur keberhasilan dan ketercapaian kerja seseorang. Sama seperti Charlie yang bekerja sesuai perintah dan sesuai pola, demikian pula para  pendidik maupun naradidiknya yang akhirnya  tanpa sadar membudayakan system semacam ini. 

Sistem Pendidikan yang sesuai pola, perintah dan pattern yang selalu dianggap berhasil padahal dibalik itu ada kreatifitas yang terbunuh dan kekayaan cara belajar yang diborgol karena tidak sesuai sistem.

Bukankah anak-anak sampai saat ini yang kemampuannya masih diukur menggunakan angka nilai dan keaktifan dalam mengumpulkan tugas sekolah bahkan. "Mau dia baik atau sopan tapi kalau nilainya jelek ya tetap saja anak yang bodoh", "Mau dia sering memenangkan lomba non akademik, tetap saja dimasyarakat akan dianggap sebagai anak yang kurang  cerdas karena rapornya pas-pasan" Masih banyak sistem pendidikan yang tidak ramah anak. Anak diajadikan obyek yang harus menyelesaikan tuntutan pribadi orangtua dan gurunya. 

Sistem pendidikan yang tak ramah anak hanya akan menciptakan generasi-generasi robot penurut namun tanpa kecerdasan kreativitas dan kecerdasan moral. Kalau anak selalu menjadi obyek yang disalahkan,harus begini, harus begitu sama saja membuat anak hanya menjadi bebek-bebek penurut. Dan rasanya beginilah sistem pendidikan yang masih trend  saat ini, menciptakan bebek-bebek.

Masih banyak dari para pelaku pendidikan (orangtua, guru, dosen, tutor dll)  yang hanya berfokus pada keinginannya sendiri tanpa menyadari bahwa setiap anak bertumbuh dengan istimewa, bukan seperti robot tanpa punya jiwa, yang setiap perilaku dan gaya belajarnya dikendalikan oleh remote yang ada digenggaman orangtuanya, gurunya ataupun dosennya.Bukankah tidak tepat bila dalam melakukan upaya didik mendidik, kita memaksa setiap anak menjadi seperti yang kita inginkan. 

Setiap anak adalah pemilik dirinya dan kehidupannya sendiri. Bukan kita yang berhak menjadikan apa dan siapa dia , melainkan Dia Sang Pemilik Kehidupan. Kita hanyalah alat-Nya yang mana melalui kita anak akan dibentuk sesuai kehendak-Nya. 

Dalam mendidik, ingatlah bahwa anak kita, siswa kita bukanlah milik kita. Jangan jadikan mereka "barang mainan" unutk memenuhi ambisi-ambisimu. Jangan mengerdilkan potensi dan kreatifitas mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun