Mohon tunggu...
Yosia Gracio Feree Pender
Yosia Gracio Feree Pender Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Jurusan teknik elekto di Universitas Kristen Satya Wacana

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Teknologi AI, antara Lawan dan Kawan

10 Juli 2023   17:20 Diperbarui: 10 Juli 2023   17:46 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: analyticsinsight.net

Dunia ini sudah dipenuhi dengan teknologi yang ada. Berbeda pada zaman dahulu dimana orang-orang bahkan belum mengenal adanya telepon genggam. Tentu perubahan tersebut tidaklah instan, perlu adanya proses terbentuknya teknologi, yang disebut dengan revolusi industri. Apa itu revolusi industri? Revolusi industri adalah sebuah gerakan teknologi yang memfokuskan dalam aspek kecepatan dan kemampuan dalam menyediakan informasi dalam lingkungan industri (Schlechtendahl et al., 2015) . 

Lalu, bagaimana proses revolusi industri tersebut terjadi? Awal revolusi industri atau revolusi 1.0 dimulai dari Inggris pada abad ke-18. Revolusi ini ditandai dengan adanya penemuan alat mesin uap dimana melalui penemuan ini dapat mengubah pandangan manusia dan juga dunia, terutama dalam proses produksi. Lalu, revolusi 2.0 dimulai dari awal abad ke-20 yang ditandai dengan adanya penemuan listrik. Dengan adanya listrik sebagai pengganti mesin uap menyebabkan perubahan gaya produksi. Yang awalnya bekerja bersama-sama menjadi terpisah-pisah sesuai bidangnya masing-masing. Sehingga, hal ini berdampak pada efisiensi dalam produksi. Kemudian, revolusi industri 3.0 terjadi pada akhir abad ke-20 dimana ditandai dengan adanya kemunculan internet dan teknologi digital. Karena adanya hal tersebut, ruang dan waktu sudah tidak menjadi batasan orang untuk berkomunikasi. Perusahaan-perusahaan juga harus mencari cara agar tingkat efektivitas dalam produksi menjadi semakin tinggi. Lalu, revolusi industri 4.0 muncul pada abad ke-21 dengan perubahan dunia digital yang cukup pesat, yaitu dengan adanya media sosial. Hal ini memaksa perusahaan untuk lebih melihat pada tingkat adaptasi dalam penggunaan media sosial. Lalu, tiba saatnya masuk ke dalam revolusi industri 5.0 yang ditandai dengan adanya Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI). Sebenarnya, saat ini revolusi 5.0 belum masuk ke dalam kehidupan manusia secara menyeluruh, tetapi tanda-tandanya sudah muncul.

Beberapa tahun terakhir, teknologi AI mengalami perkembangan pesat serta menjadi sebuah topik yang sangat penting dalam dunia teknologi dan informasi. AI merupakan bidang penelitian dan pengembangan terkait mesin dan program komputer yang memerlukan kecerdasan manusia, seperti pengambilan keputusan, pengenalan gambar, bahasa alami, bahkan menganalisis data serta membuat personality, seperti karakter bot, dan lain sebagainya. Menurut Herbert Alexander Simon, AI adalah kawasan penelitian, aplikasi, dan instruksi yang berkaitan dengan pemrograman komputer untuk melakukan tugas-tugas yang dalam pandangan manusia dianggap cerdas. 

Konsep AI sebenarnya sudah lama dikenal dan dikembangkan sejak awal tahun 50-an. Pada waktu itu, para ahli matematika dan komputer menggagas terkait pengembangan sebuah mesin yang bisa memiliki pemikiran sendiri, layaknya kecerdasan manusia. Kemudian pada tahun 1956, diadakan konferensi Dartmouth. Sejak saat itu, perkembangan teknologi AI mengalami perkembangan pesat, walaupun sempat menghambat dan terhenti pada tahun 70-an hingga awal 80-an. Namun, dapat diatasi pada sekitar tahun 80-an dengan penggunaan jaringan saraf dan logika fuzzy.  Lalu, pada tahun 1997 terjadi suatu peristiwa penting dimana komputer International Business Machines Corporation (IBM) berhasil mengalahkan juara dunia catur. Ini menjadi peristiwa penting, karena menunjukkan bahwa AI dapat memecahkan masalah kompleks. Kemudian, pada abad ke-21 perkembangan AI menjadi sangat pesat berkat teknologi deep learning yang memungkinkan AI dilatih untuk belajar mandiri dan mempertajam analisis dan akurasi data AI. Hal ini menyebabkan munculnya banyak teknologi kompleks berbasis AI seperti saat ini.

AI telah mengubah beberapa lanskap pekerjaan dan mempengaruhi peran manusia di beberapa sektor. Pekerjaan yang sifatnya repetitif, berbahaya, ataupun memerlukan keterampilan khusus dapat dilakukan dengan lebih efisien dan aman. Misalnya, dalam industri manufaktur, robotik dan otomatisasi telah menggantikan pekerjaan di jalur produksi. Lalu, dalam industri pelayanan pelanggan, chatbot AI dapat membantu dalam memberikan dukungan pelanggan. Menurut Will Robot Take My Job (2018), kehadiran AI diperkirakan akan mematikan pekerjaan tradisional, seperti kasir, petugas kebersihan, dan supir. Selain itu, kemampuan AI dalam menganalisis data dapat menyebabkan demand terhadap akuntan dan analis menjadi lebih rendah (Triatmaja, 2019). Kedepannya akuntan dan analis dituntut untuk bisa mengoperasikan AI. Pada tahun 2017, Grace et al. (2017) dari Oxford’s Future of Humanity Institute melakukan survei dari 325 akademisi dan ahli industri tentang machine learning (sub dari AI) untuk memprediksikan perkembangan AI kedepannya. Penelitian tersebut memberikan angka yang mencengangkan dari survei tersebut. Pekerjaan yang sifatnya tidak membutuhkan waktu lama akan dilakukan oleh AI pada tahun 2022. Lalu, dikatakan sekitar sepuluh tahun kedepan, AI akan lebih baik dari manusia dalam hal menerjemahkan bahasa (2024), menuliskan esai level SMP dan SMA (2026), menuliskan lagu top 40 (2028), dan mengendarai truk (2027). Mesin yang digerakkan AI bisa terjadi pada tahun 2031. Kemudian pada tahun 2049, AI bisa menulis buku terlaris di New York Times dan melakukan operasi medis pada tahun 2053. Secara garis besar, AI akan lebih baik daripada manusia di semua hal dalam waktu sekitar 39 tahun dari sekarang. Melihat kemampuan AI yang begitu luar biasa, proses transisi tenaga manusia ke AI dalam beberapa pekerjaan menyebabkan adanya kekhawatiran dan kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat takut dan khawatir AI ataupun robot menggantikan mereka di banyak bidang-bidang pekerjaan. 

Selain berpengaruh pada pekerjaan manusia, ternyata AI mempengaruhi juga pada diri manusia. Karena ini berkaitan bagaimana transformasi ini mempengaruhi kondisi mental kita, seperti cara berperilaku dan berpikir. Banyak penelitian memberikan poin-poin konkrit yang menunjukkan bahwa interaksi yang konstan dengan teknologi mempengaruhi otak kita. Pengaruh tersebut dapat masuk pada bagian informasi yang kita ingat, rasa orientasi fisik, dan bahkan mempengaruhi emosi-emosi kita, seperti bahagia, sedih, dan lain-lain. Smartphone yang kita punya menjadi salah satu sistem untuk berkonsultasi dan penyimpanan informasi. Sehingga, ini memungkinkan bagi kita untuk menaruh data ke memory card dan lupa untuk menyimpan di otak kita. Pada dasarnya ini bisa menolong kita untuk memiliki data yang lebih banyak, tetapi menghilangkan kemampuan untuk menyimpan informasi. 

Dalam proses pencarian informasi, AI mempengaruhi kita untuk tidak membuat usaha dan memilih jalan yang instan. Contohnya adalah penggunaan Siri ataupun Google Assistant. Dengan penggunaan asisten virtual tersebut, kita tidak perlu lelah-lelah untuk melatih memori kita dan lama-kelamaan mekanisme kita untuk mencari informasi menjadi terhambat. Pada tahun 2011, penelitian dari Harvard University menyebutkan sebagai Google Effect.

Selain dalam proses pencarian informasi, kecerdasan manusia spasial juga menjadi salah satu aspek yang diteliti. Orang-orang mulai mengandalkan sepenuhnya pada GPS di smartphone mereka. Penelitian dari University College London menunjukkan penggunaan GPS mengurangi kemampuan otak dari menentukan arah atau orientasi dan menyebabkan pelemahan aktivitas pada area otak yang berfokus pada orientasi spasial.

Namun, ada beberapa penelitian yang menunjukkan AI membantu manusia untuk menggunakan otak mereka secara kreatif, karena bot akan mengotomatiskan pekerjaan yang sifatnya repetitif. Lalu, perkembangan robotika bisa memberikan waktu manusia lebih banyak untuk berinvestasi pada kehidupan yang kontemplatif, rekreasi, dan budaya. Dengan cara ini juga, AI memberikan kita kesempatan untuk mengembangkan lebih jauh tentang berpikir secara abstrak, imajinasi, dan intuisi. Melalui perkembangan AI ini juga, permintaan akan berubah sehingga pekerjaan manusia dan perusahaan akan lebih mementingkan pemikiran kritis dan kreativitas.

Melihat kita dihadapkan pada situasi yang dilematis bahwa AI bisa menjadi kawan bagi manusia ataupun menjadi lawan bagi manusia, kita memerlukan cara bagaimana kita bisa menghadapi dan bergandeng tangan dengan AI. Menurut Brynjolfsson (2022), orang-orang terlalu takut dan panik bahwa AI dan robot akan menggantikan manusia. Padahal, antara AI dan manusia bisa saling bekerja sama dan memacu inovasi dan produktivitas sambil memberikan manfaat ekonomi bagi semua orang. Perlu ditekankan bahwa bukan berarti manusia sama sekali tidak bisa memiliki pekerjaan. Pekerja manusia masih dibutuhkan dalam situasi yang kompleks atau empati yang lebih. Teknologi AI juga menciptakan peluang pekerjaan baru. Pengembangan, implementasi, dan pemeliharaan sistem AI membutuhkan keahlian dan pengetahuan yang spesifik. AI telah menciptakan permintaan akan pekerjaan di bidang seperti ilmu data, pembelajaran mesin, pengembangan algoritma, dan etika AI. Kolaborasi antara manusia dan AI menjadi semakin penting. Manusia memiliki keunggulan dalam hal kreativitas, inisiatif, dan kemampuan beradaptasi yang kompleks, sedangkan AI dapat membantu manusia dalam pengolahan data, analisis prediktif, dan memberikan wawasan yang mendalam. Kemudian, kita perlu melakukan redefinisi pada nilai-nilai yang terkandung dalam AI dimana kita bisa menggunakan AI untuk memberikan implikasi yang bermakna bukan sekedar solusi masalah abstrak saja. Jadi, pada dasarnya kerja sama antara AI dan manusia bisa menciptakan manfaat dan keuntungan. Akan tetapi, perlu diakui bahwasanya banyak dari kalangan teknolog, manajer, dan pengusaha terlalu menekankan pada otomatisasi demi keuntungan. Hal inilah yang bisa menyebabkan ketidakseimbangan antara porsi AI dan porsi manusia. Lalu, kecanduan akan otomatisasi dari AI menyebabkan otak kita lebih lambat untuk bekerja karena terlalu nyaman dengan AI. Ini menjadi ketakutan terbesar karena kita manusia bisa menjadi budak AI. Oleh karena itu, perlu adaptasi dan penyeimbangan antara manusia dengan AI agar ini bisa menjadi interaksi kerja sama yang bermakna demi peradaban yang sejahtera dalam ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun