Bagaimana jika hidup di era digital tanpa bisa mengakses platform digital?
Pertanyaan di atas adalah sekelebat pertanyaan yang muncul di pikiran saya, bahkan mungkin kebanyakan warganet Indonesia, menyusul rencana Kominfo memblokir layanan Google (termasuk YouTube) dan Meta (termasuk Instagram, Facebook dan WhatsApp).
Rencana ini disampaikan dalam bentuk peringatan kepada Google dan Meta, untuk mendaftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat paling lambat 20 Juli 2022. Selain Google dan Meta, ada juga Netflix dan Twitter yang masuk daftar peringatan.
Tentu saja ini membuat masyarakat menjadi gaduh. Banyak yang bingung, banyak juga yang terheran-heran.
Maklum, platform digital yang terancam diblokir kebanyakan sangat diandalkan masyarakat untuk berbagai hal. Mulai dari hiburan, berjualan, komunikasi sampai bekerja, semuanya cukup mengandalkan platform digital tersebut.
Gawatnya, mayoritas pengguna ponsel pintar di Indonesia  menggunakan ponsel Android, yang sistem operasinya didukung Google. Ditambah lagi, seiring digitalisasi televisi di Indonesia, banyak orang yang kemudian beralih ke platform digital, termasuk YouTube yang notabene merupakan bagian dari Google.
Apa jadinya kalau Google diblokir?
Memang, kebijakan pemerintah kali ini berkaitan dengan fungsi kontrol di sektor digital. Tapi, kalau pendekatannya membuat gaduh, ini mengkhawatirkan, karena tidak mengedukasi masyarakat.
Apalagi, cara pandangnya cenderung kurang cerdas. Dalam arti, Kominfo tidak memikirkan dampak dalam skala lebih luas dan jangka panjang.
Pemblokiran platform memang bisa dilakukan dengan mudah. Tapi, itu akan menjadi langkah mundur ke 20-30 tahun silam. UMKM bisa lumpuh akibat kehilangan fleksibilitas, komunikasi mundur ke zaman telepon atau SMS, dan industri kreatif kehilangan ruang.