Sebelum melangkah lebih jauh, izinkan saya memberi batasan masalah. Apa yang saya tulis di sini adalah satu contoh fenomena, pada "Bisnis Start Up" (selanjutnya saya sebut usaha rintisan) khususnya skala kecil atau menengah di Indonesia, khususnya pada masa pandemi Covid-19.
Bicara soal usaha rintisan, ini menjadi sebuah tren bisnis yang belakangan diminati. Banyak orang berlomba-lomba membuat usaha rintisan dengan beragam ide hebat.
Motivasinya pun beragam, ada yang ingin membuat inovasi, ada yang ingin memberdayakan masyarakat, dan hal-hal keren lainnya. Inilah yang membuat usaha rintisan dan kewirausahaan terlihat menarik.
Inilah sisi terang bisnis rintisan, yang bisa mendatangkan banyak manfaat, termasuk menarik minat investor. Tak heran, pemerintah mendukung tren ini, sebagai bagian dari upaya menghadapi Revolusi Industri 4.0, sebuah era sarat disrupsi.
Oke, jika sisi terang ini menjadi tujuan utama dan dilakukan dengan serius, hasilnya akan baik. Bagaimana jika itu hanya topeng dari tujuan lain, yang sebenarnya kurang baik?
Pertanyaan ini muncul, karena masih ada pelaku usaha rintisan, yang ternyata menjadikan "sisi terang" tersebut sebagai kedok untuk aktualisasi diri dan mengejar keuntungan pribadi.
Dalam artian, mereka ingin mendapat sorotan dan pengakuan seluas mungkin, sambil mengejar profit sebanyak mungkin. Di sini, bukan identitas produk/merek yang fokus mereka bangun dan kembangkan secara kontinyu.
Jika ini menjadi tujuan utama, maka jangan heran jika mereka kurang "membumi" . Dengan pikiran hanya menatap ke atas, menjejak tanah, apalagi ikut terjun langsung ke lapangan hanya sebuah jargon.
Jadi, jangan heran jika ada banyak kesalahan di sana-sini; salah merekrut penasihat bisnis, salah strategi, salah prosedur, dan sebagainya. Alasannya klasik, "ini masih usaha rintisan".
Celakanya, etika dan prioritas juga kerap diabaikan. Tak ada penghormatan pada privasi, begitu juga dengan pengambilan keputusan penting, yang seharusnya perlu dipertimbangkan bersama.
Belum lagi, jika jargon "kekeluargaan" ikut menjadi senjata lain dalam memanipulasi prioritas. Jargon ini bisa menampilkan image kompak atau harmonis. Tapi, apalah artinya jika itu malah mengabaikan hal lain yang sebenarnya lebih mendesak?