Hal lain yang ikut menjadi indikator adalah, jika intensitas "gathering" atau sejenisnya terlalu sering. Kegiatan semacam ini jadi tak berguna, karena yang harus diperhatikan adalah kualitas, bukan kuantitas.
Semakin sering dilakukan, semakin tak berkualitas kegiatan tersebut. Malah, kita patut curiga, jangan-jangan ini adalah satu cara "mengontrol dan mengawasi" kehidupan pribadi setiap personel.
Jelas, banyaknya kesalahan yang terjadi adalah hasil dari tujuan menyimpang. Jika di awalnya saja sudah menyimpang, maka lanjutannya akan terus ada sampai berjilid-jilid.
Bagaimana jika situasi memburuk?
Para pelaku usaha rintisan ini biasanya akan tetap memastikan semua terlihat baik-baik saja di luar, tapi, ketika di dalam, mereka akan menjadi orang paling cerdas, yang siap menyalahkan siapapun selain dirinya sendiri.
Jika krisis ternyata berlanjut, seperti saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, ini akan jadi "ajang pembantaian", karena semua orang akan ditekan semaksimal mungkin, dengan hak-hak mereka tersunat secara signifikan, tertunggak, bahkan hilang sama sekali.
Bagaimana jika, pencabutan tunjangan kesehatan, pemotongan gaji atau keputusan PHK besar-besaran terpaksa diambil? Biasanya, keputusan semacam ini diambil sangat mendadak dan cenderung sepihak. Pesangon? Entahlah!
Kalaupun bisa dinego, harus ada alasan sangat kuat untuk berargumentasi. Di sini, "siap makan hati" adalah kunci.
Maklum, si pengambil keputusan tidak sepenuhnya objektif di sini. Keputusan yang mereka jadikan solusi justru memperburuk keadaan.
Yang lebih menyakitkan lagi, saat semua orang dipaksa "kerja bakti", para pelaku usaha rintisan berjiwa "menyimpang" ini tetap menjalani gaya hidup "wow" seperti biasa. Penyesuaian? Itu derita bawahan!